Apigas: Industri Sumut kritis akibat kebijakan PGN

Senin, 30 November 2015 | 11:15 WIB Sumber: Antara
Apigas: Industri Sumut kritis akibat kebijakan PGN


JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumatera Utara mengungkapkan industri pengguna gas di wilayah tersebut mengalami kritis akibat kebijakan yang diterapkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN).

Ketua APIGAS Sumut Johan Brien mengatakan, saat ini dari 58 perusahaan yang ada, delapan di antaranya sudah gulung tikar dan sisanya dalam keadaan kritis.

"Jika tidak ada perbaikan, kami semua bisa mati," kata Johan yang juga mewakili unsur Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sumatera Utara, Minggu (29/11).

Menurut dia, PGN dinilai melakukan ingkar janji, tidak transparan, tidak profesional, melakukan praktik dagang kartel, dan menyengsarakan buruh industri pemakai gas.

Selain itu, tidak mematuhi Kepmen ESDM Nomor 07 tahun 2007, menentukan kalori gas tanpa standar, dan melakukan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang tidak seimbang.

Johan menyatakan, pihaknya telah menyampaikan secara langsung hal-hal tersebut kepada pihak PGN dalam pertemuan yang dilakukan di Medan, beberapa waktu lalu.

Hadir dalam pertemuan tersebut, Dirut PGN Hendi Prio Santoso, Dirut Pertagas Hendra Jaya, perwakilan Kemenko Perekonomian, Sekretariat Wakil Presiden, perwakilan BPH Migas, dan perwakilan Ditjen Migas.

Menurut Johan, terkait dengan praktik dagang yang dilakukan PGN selama ini, yang sangat tidak fair dan serba tertutup mengakibatkan ketika industri di Jawa membeli gas dengan harga sektar US$ 9 per million british thermal units (MMBTU), harga gas di Sumut tetap tidak berubah, yakni US$ 14 per MMBTU.

"Di sini jelas terlihat bahwa PGN menyembunyikan margin yang mereka peroleh dengan sangat besar. Mereka menyatakan hanya memiliki margin US$ 0,2 per MMBTU dari pembelian seharga US$ 13,8 per MMBTU. Namun di sisi lain, mereka menutupi bahwa juga membeli harga jauh lebih rendah dari Pangkalan Susu," kata Johan.

Bukan hanya tidak transparan, dalam melakukan praktik dagangnya, APIGAS juga melihat bahwa PGN tidak mengenal asas musyawarah. PGN, lanjutnya, secara sepihak memutus aliran gas ke industri jika industri tersebut tidak mau membeli dengan harga selangit.

Menurut Johan, PGN juga melakukan praktik dagang kartel. Hal itu dibuktikan bahwa saat ini PGN tidak lagi bersedia menjalankan open access. Padahal, ketika PGN masih dijalankan direksi lama, mereka menerima open access atas pipa PGN.

Karena PGN tidak bersedia open access, lanjut Johan, maka mereka melakukan monopoli dalam distribusi gas.

"Monopoli itu sangat menyulitkan bagi industri. Kami terus tertekan dan hampir kehabisan nafas. Industri di Sumut terancam gulung tikar. Padahal dampaknya sangat besar. Tidak hanya membuat perekonomian di Sumut amburadul, namun juga mengancam nasib sekitar 50.000 karyawan," lanjutnya.

Wakil Ketua Apindo Sumut, Pinpin juga mengecam praktik dagang yang selama ini dilakukan PGN. Menurutnya, PGN telah berbuat sewenang-wenang, dengan menaikkan harga secara sepihak, yakni dari yang sebelumnya hanya US$ 8,7 per MMBTU menjadi US$ 14 per MMBTU.

Industri tentu tidak punya pilihan lain. Karena, mesin-mesin yang mereka miliki, sudah di-setting untuk penggunaan gas. Sedangkan jika di-convert, maka memerlukan waktu yang sama sehingga mesin tidak bisa beroperasi.

"Jadi kami memang tidak punya pilihan. Padahal, harga US$ 14 per MMBTU itu akan membuat industri mati semua," katanya.

Dalam konteks ini, Pinpin menduga, banyaknya kepemilikan saham asing di PGN, menjadi salah satu penyebab. Dengan jumlah kepemilikan asing 43%, maka pola dagang PGN menjadi kacau dan sama sekali tidak berorientasi pada kemajuan perekonomian bangsa.

Membandingkan sebuah perusahaan telekomunikasi di tanah air yang saham asingnya hanya 30% saja, menurut dia, perusahaan tersebut sudah berada di bawah kendali pihak lain.

"Apalagi ini yang 43%, pemerintah harus turun tangan," katanya.

Jika kondisi ini terus berlangsung, Pinpin yakin bahwa tak ada lagi industri pengguna gas yang bisa bertahan, apalagi menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pada awal 2016 yang serba bebas dan tidak ada proteksi.

"Bagaimana kita bisa survive? Jangankan dengan industri sejenis dari luar negeri, dengan kompetitor dari Pulau Jawa saja, industri di Sumut sudah menyerah," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri

Berita Terkait


Terbaru