Aturan Pilkada serentak menuai gugatan hukum

Senin, 24 Oktober 2016 | 11:34 WIB   Reporter: Teodosius Domina
Aturan Pilkada serentak menuai gugatan hukum


JAKARTA. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak kali ini tidak hanya diwarnai riuhnya manuver para kontestan, melainkan juga gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Berbagai kalangan melayangkan permohonan uji materi atas beleid ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Salah satunya adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang mengajukan gugatan uji materi (judicial review) terkait kewajiban cuti bagi petahana. Kini, gugatan pria yang kerap disapa Ahok ini telah memasuki tahap akhir. Sidang sudah mendengarkan pendapat para pihak terkait. Rencananya pada Kamis (27/10) pekan ini MK akan menggelar sidang putusan gugatan uji materi Ahok.

Meski begitu, pada Rabu (19/10) pekan lalu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta telah menerima surat cuti Ahok. "Iya, kami sudah menerima  itu kemarin," kata Sumarno, Ketua KPUD DKI Jakarta akhir pekan lalu.

Dengan demikian, apapun keputusan MK,  Ahok-Djarot tetap bersedia cuti selama masa kampanye yang digelar sejak 28 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017. 

Selain Ahok, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Faridz juga mengajukan uji materi terhadap pasal 40 a ayat 3 UU nomor 10 tahun 2016. 
Pasal itu menyebutkan bahwa kepengurusan partai politik tingkat pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon peserta pilkada merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia. Gara-gara ketentuan ini, kubu Djan Faridz tak bisa mengajukan calon kepala daerah. 

Kubu Djan Faridz menggugat pasal itu lantaran kepengurusan mereka tidak mendapat pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Padahal Mahkamah Agung (MA) memutuskan kepengurusan yang sah ialah hasil muktamar PPP ke-8 yang digelar di Jakarta tanggal 30 Oktober hingga 2 November 2014, yakni kepengurusan Djan Faridz. Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap. 

Bahkan, sebagai pelaksana atau penyelenggara pemilihan kepala daerah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengajukan uji materi atas UU nomor 10 tahun 2016, yakni pasal 9 huruf a yang menyatakan tugas dan wewenang KPU adalah menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.

Menurut KPU, pasal tersebut membuat independensi KPU terbatas lantaran ketika menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknisnya. Sebab, dalam pengambilan keputusan harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. "KPU seharusnya mendapat perlakuan sama seperti Komisi Yudisial atau lembaga independen lainnya. Nah, lembaga independen harus memiliki independensi," kata Ida Budhiati, komisioner KPU saat sidang pemeriksaan pendahuluan pekan lalu.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini

Terbaru