Kopi Tapanuli, dari sekedar pembayar utang jadi tulang punggung ekonomi

Senin, 03 Agustus 2020 | 14:18 WIB   Reporter: Tendi Mahadi
Kopi Tapanuli, dari sekedar pembayar utang jadi tulang punggung ekonomi

ILUSTRASI. Pengolahan kopi di Tapanuli.


AGRIBISNIS - JAKARTA. Budaya ngopi semakin melekat dan menjadi kebiasaan hampir setiap orang. Jika dulu kebiasaan ngopi hanya ada di kampung dan di desa, kini telah merambah perkotaan. Di Jakarta misalnya, banyak kafe yang menyediakan kopi premium dengan harga yang bisa dibilang tidak murah. 

Salah satu daerah pemasok kopi dengan kualitas terbaik adalah daerah Tapanuli Sumatera Utara. Selama ini daerah tersebut menjadi sentra kopi arabika. Kontur pegunungan di Tapanuli membuat kopi jenis ini tumbuh subur dan memiliki rasa yang khas.

Baca Juga: Bukukan rugi bersih di semester pertama, begini penjelasan Darmi Bersaudara (KAYU)

Mengutip data Dinas Perkebunan Sumatera Utara, pada 2018, produksi kopi dari wilayah ini  mencapai 43.000. Jumlah tersebut menguasai 22% pangsa kopi arabika nasional, yang menurut data Kementerian Pertanian, total produksi secara nasional kopi jenis ini mencapai  187.031 ton.

Meski kopi arabika dari Tapanuli dihargai mahal di daerah lain terutama di Jakarta, namun kondisi berbeda dialami oleh petani kopi yang ada di daerah ini. Banyak petani kopi yang justru mengalami kesulitan ekonomi.

Karena itulah, kopi mendapatkan predikat sebagai “sigarar utang” (pelunas hutang). Ini karena kopi yang telah dipanen kemudian dijual untuk membayar utang pupuk para petani.

Salah seorang petani kopi di Tapanuli, Marojahan Simangunsong dari Desa Siantar Utara Kabupaten Toba merasakan hal ini. Terbatasnya pemahaman mengenai nilai ekonomi kopi membuat dirinya dan rekan petani lain tidak menggeluti pertanian kopi sebagai tulang punggung perekonomian. Bertani padi dan jagung menjadi yang utama, sedangkan kopi hanya sekunder.

Baca Juga: Dharma Satya Nusantara (DSNG) mengejar target produksi 700.000 ton CPO tahun ini

Dia mulai menanam kopi pada 2008 setelah pulang dari merantau. Seperti petani pada umumnya, Maraojahan melakukan penanaman kopi dengan cara konvensional, yakni menanam kopi dengan jarak tanam rapat agar banyak kopi yang dihasilkan. Padahal, cara bertanam seperti itu justru membuat petumbuhan dan produktifitas tanaman kopi  tidak maksimal.

Pola bertanam tersebut mulai berubah saat Marojahan dan petani lainnya mendapat pengetahuan melalui pelatihan yang diadakan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) dan Pusat Penelitian Kakao dan Kopi Indonesia (Puslitkoka) pada tahun 2018.

Dalam pelatihan tersebut, para petani diajarkan mengenai budidaya kopi yang baik sesuai dengan Good Agricultural Practice (GAP) dari Puslitkoka melalui pemangkasan, pemupukan, penyiangan secara rutin. Termasuk memberikan pohon pelindung. 

 

Editor: Tendi Mahadi

Terbaru