Merasa tak nyaman, Farhat Abbas ikut kritisi aturan rusun baru

Jumat, 12 April 2019 | 20:15 WIB   Reporter: Handoyo
Merasa tak nyaman, Farhat Abbas ikut kritisi aturan rusun baru


PERUMAHAN - JAKARTA. Gejolak perubahan kepengurusan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) yang terjadi di seluruh rusun dan apartemen yang ada di DKI Jakarta saat ini membuat para penghuni menjadi resah dan tidak nyaman.

Sebab, banyak orang yang memiliki kepentingan ingin menjadi pengurus sehingga memicu terjadinya pergesekan di dalam lingkungan rusun dan apartemen. Seperti diketahui, perubahan P3SRS tersebut merupakan mandat dari Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 132 tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rusun Milik. 

Penerapan dari aturan tersebut sudah harus dilakukan oleh seluruh rusun atau apartemen hingga Maret 2018. Namun hingga saat ini masih ada sekitar 150 rusun atau apartemen yang belum melakukan perubahan kepengurusan dikarenakan tenggat waktu yang diberikan sangat singkat.

Salah satu penghuni apartemen yang ikut terusik dari penerapan Pergub 132 tersebut adalah Farhat Abbas. Pengacara sekaligus politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan kehadiran Pergub 132 justru membuat suasana rusun dan apartemen di Jakarta menjadi tidak nyaman. 

“Saya yakin pengurus dan pengelola sekarang sudah baik. Yang jadi pertanyaan apakah pengurus yang baru nanti bisa berjalan baik seperti sekarang,” kata Farhat dalam siaran persnya, Jumat (12/4).

Yang menjadi kekhawatiran Farhat adalah masuknya pengurus baru tersebut justru membawa kepentingan-kepentingan yang berdampak pada berkurangnya kenyamanan penghuni. Ia sendiri pernah mengalami pergantian pengurus di salah satu apartemen miliknya yang lain di pinggir Jakarta. 

Di apartemen tersebut, Farhat bahkan harus membayar dua Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) sekaligus kepada dua P3SRS yang berbeda dalam satu apartemennya itu. Ia membayar dua IPL tersebut lantaran tidak mau repot mengurusi mana P3SRS yang resmi dan mana yang tidak. 

“Awalnya P3SRS tandingan itu memang memberikan tarif IPL murah, tapi lama-lama IPL yang dikenakan naik terus. Itu artinya dia bikin murah di awal untuk menarik pendukung saja, tapi lama-lama tarifnya justru bisa lebih mahal,” kata Caleg DPR untuk Dapil Jabar VI Depok dan Bekasi itu.

Ia juga mengkritisi mengenai aturan one man one vote yang memangkas suara pemilik apartemen yang memiliki lebih dari satu unit. “Jadi misalnya saya punya 10 unit apartemen, tapi dalam Pergub 132 dinyatakan hak suara saya hanya satu, bukan 10 seperti jumlah unit yang saya miliki. Itu sama saja perampasan hak, karena di lain sisi saya tetap wajib membayar IPL sejumlah 10 unit,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia menyayangkan jika Pergub yang diterbitkan ini hanya mengakomodir kepentingan tertentu dan menghilangkan hak pemilik rusun. Apalagi, Pergub tersebut juga diterbitkan tanpa adanya Peraturan Pemerintah (PP), seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rusun, bahwa PP diterbitkan terlebih dahulu sebelum peraturan di bawahnya seperti Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur.

“Jadi menurut saya percuma gubernur membuat tim percepatan pembangunan, tapi malah membuat suatu produk hukum yang bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan di masyarakat. Belum apa-apa sudah membuat gejolak, artinya kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat,” katanya.

Untuk itu Farhat meminta Gubernur DKI Jakarta menunda implementasi Pergub 132 karena masih ada kekurangan disana-sini sehingga harus diperbaiki dan meminta masukan stakeholder terkait. Apalagi kebijakan ini melibatkan jutaan penghuni rusun dan apartemen yang ada di DKI Jakarta.

Dan jika tetap dipaksakan penerapannya, ia khawatir akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang hanya ingin mengambil keuntungan sesaat. “Intinya penghuni itu inginnya nyaman, bukan soal IPL mahal dan lainnya. Karena pengenaan IPL itu pasti sudah ada hitungannya,” katanya.

Sebelumnya, Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta juga meminta agar Gubernur Anies Baswedan segera menunda implementasi Pergub 132 untuk meredam konflik berkelanjutan. Apalagi Pergub tersebut terbit tanpa ada PP sehingga bisa menjadi preseden buruk bagi sistem perundangan di Indonesia. 

“Lebih baik ditunda dulu, secara hukum lemah, belum lagi implementasinya dilapangan malah bikin gaduh,” kata Ellyzabeth CH Mailoa, Anggota Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta yang membidangi pemerintahan, ketentraman dan ketertiban, hukum/perundang-undangan, perlindungan masyarakat, kesatuan bangsa dan politik itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .

Terbaru