JAKARTA. Kisruh eksekutif dengan legislatif perihal anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta 2015 belum usai. Setelah DPRD DKI sepakat menggelar paripurna untuk mengajukan hak angket (penyelidikan) APBD DKI, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjelaskan alasannya bersikeras menyerahkan dokumen APBD DKI 2015 tanpa pembahasan dengan DPRD DKI.
Pasalnya, lanjut Basuki, DPRD menyelipkan anggaran "siluman" setelah paripurna pengesahan APBD pada 27 Januari 2015 lalu. "Ada anggota DPRD, wakil ketua komisi meng-crop (memotong) 10%-15% anggaran program unggulan yang sudah kami susun dan disahkan di paripurna. Kemudian, mereka masukkan program versinya mereka sampai Rp 12,1 triliun. Bagaimana bisa," kata Basuki geram, di Balai Kota, Selasa (24/2).
Basuki menegaskan, Pemprov DKI langsung mengajukan dokumen APBD kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) setelah paripurna pengesahan dan tak lagi melakukan pembahasan. Sementara menurut pandangan DPRD, komisi masih berhak membahas anggaran bersama satuan kerja perangkat daerah (SKPD) setelah pengesahan.
Menurut Basuki, Pemprov DKI mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 PUU-XI Tahun 2013 perihal pembahasan APBD pasca-putusan MK dan penghematan serta permohonan anggaran belanja.
DPRD pun, lanjut Basuki, terkejut karena Pemprov DKI telah menyerahkan APBD tanpa pembahasan lebih lanjut dengan komisi. Sebab, DPRD juga memiliki dokumen APBD yang sudah direvisi saat pembahasan usai paripurna pengesahan. Saat Kemendagri mengembalikan dokumen APBD, Pemprov DKI mencoba mencocokkan APBD yang telah disahkan dan APBD yang melalui pembahasan komisi di DPRD. Hasilnya, ditemukan anggaran "siluman" sebesar Rp 12,1 triliun.
Anggaran itu merupakan potongan anggaran program unggulan dan dialokasikan untuk hal-hal yang tidak prioritas. Hal ini misalnya pembelian perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) untuk seluruh kantor kecamatan dan kelurahan di Jakarta Barat. Perangkat itu berfungsi sebagai penyedia listrik cadangan atau tambahan pada bagian tertentu, seperti komputer, data center, atau bagian lain yang penting untuk mendapat asupan listrik secara terus menerus pada waktu tertentu.
Basuki mengaku segera mengecek kebenaran penganggaran itu ke jajarannya yang berada di Kotamadya Jakarta Barat. Namun tak satupun camat dan lurah yang merasa pernah mengajukan penganggaran pembelian UPS.
"Saya tanya sama lurah, apa betul Anda mau membeli UPS seharga Rp 4,2 miliar tiap unitnya? Mereka mengatakan, 'kami tidak pernah memasukkan barang itu, Pak'. Berarti kan barang yang ditemukan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dua tahun lalu ini kan benar ada anggaran siluman yang tiba-tiba muncul?. Masuk akal enggak beli UPS Rp 4,2 miliar biar komputer stabil kalau listrik mati? Itu kan gila banget," tukas Basuki. (Kurnia Sari Aziza)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News