Begini Kata Pengusaha Soal Harga Patokan Tertinggi Biomassa untuk Co-Firing

Sabtu, 16 September 2023 | 17:09 WIB   Reporter: Arfyana Citra Rahayu
Begini Kata Pengusaha Soal Harga Patokan Tertinggi Biomassa untuk Co-Firing

ILUSTRASI. Pemerintah Akan Atur Harga Patokan Tertinggi Biomassa untuk Co-Firing 1,2 Kali Harga Batubara. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/tom.


ENERGI - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah melakukan finalisasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang pemanfaatan biomassa sebagai campuran bahan bakar batubara (co-firing) di PLTU. Salah satu yang akan diatur dalam kebijakan anyar ini ialah harga patokan tertinggi (HPT) biomassa untuk co-firing sebesar 1,2 kali harga batubara Free on Board (FoB).  

Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan menjelaskan, MEBI mengapresiasi PLN dan pemerintah yang terus memperbaiki harga jual bahan bakar biomasa (B3m) untuk co-firing pada PLTU. 

Berdasarkan Peraturan Direksi (Perdir) PLN dari Harga Patokan Tertinggi (HPT) 0,85 kali harga batu bara Cost, Insurance, and Freight (CIF) di PLTU menjadi 1,0 kali harga batu bara CIF di PLTU. Adapun sekarang melalui Permen Cofiring, dalam draft terakhir HPT biomassa untuk cofiring adalah 1,2 kali harga batubara Free On Board (FoB).

Baca Juga: PLN Jajaki Penerapan Teknologi CCS pada Pembangkit untuk Kurangi Emisi Karbon

“Harga ini sudah kondusif untuk wood chip dan bahan bakar biomassa dari limbah pertanian, perkebunan, hutan dan juga dari sampah. Namun, belum bisa diterapkan untuk jenis bahan bakar biomasa dengan potensi terbesar yaitu pelet kayu (Wood Pelet) dan biomassa yang paling siap yaitu cangkang sawit,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (14/9). 

Namun secara umum, Milton menilai, harga ini sudah menarik dan dapat diimplementasikan untuk program co-firing. 

Saat ini, lanjutnya, pembelian biomassa oleh PLN untuk co-firing harganya masih di bawah harga biomassa oleh industri, apalagi jika dibandingkan dengan harga biomassa yang dijual ke pasar ekspor. 

Meski demikian, MEBI menilai, ketiga pasar tersebut belum terpasok dengan baik. Misalnya saja, untuk pasar ekspor terdapat tiga jenis biomassa utama yaitu pellet kayu, cangkang sawit dan charcoal. Menurut data Badan Pusat Statistika (BPS) di 2022 ekspor pellet kayu masih sekitar 500.000 ton dan cangkang sawit baru sebanyak 4,5 juta ton. 

“Produksi bahan bakar biomassa nasional masih minim, yang diperlukan sekarang adalah usaha promosi dan investasi sumber-sumber biomassa dan produksinya,” terangnya. 

Pada 2025 mendatang, PT PLN menargetkan pemanfaatan biomassa melonjak hingga 10,2 juta ton untuk 52 PLTU. Sedangkan pada 2023 ini pihaknya baru menargetkan penggunaan biomassa 1,08 juta ton untuk 42 PLTU. 

Milton menilai, secara teoritis industri dalam negeri bisa saja memenuhi kebutuhan PLN. Selain area hutan luas yang bisa ditanam kayu, Indonesia mempunyai beragam sumber biomassa. 

Sumber tersebut bisa berasal dari tankos sawit yang jumlahnya lebih dari 50 juta ton/tahun kemudian ada juga kabupaten dengan potensi biomassa padi dan jagung lebih dari 2 juta/tahun. 

Baca Juga: Lelang Proyek Pembangkit EBT Sering Gagal, Ini Penyebabnya

“Kalau melihat kondisi suplai sekarang dan pertumbuhan tiga tahun terahir, memang kita pesimis untuk mencapai 10,2 juta ton pada tahun 2025. Namun MEBI juga melihat usaha keras dan serius PLN dalam hal ini holding PLN EPI khususnya subholding PT PLT Biomasa untuk mencukupi ini,” terangnya. 

Tidak hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja, pihak swasta juga sudah belajar dan berpengalaman memasok biomassa untuk co-firing sejak tahun 2021. 

Lantas untuk mendorong pasokan bahan bakar biomassa ini, MEBI menilai dperlukan regulasi, harga, dan model bisnis yang pas. 

Asal tahu saja, Permen biomassa untuk co-firing ini telah disusun sejak 2020 dan setelah 3 tahun  berjalan masih saja belum tuntas dan belum terbit. 

Oleh karenanya, pelaku usaha berharap Permen ESDM Co-Firing Biomassa bisa segera terbit sehingga pasokan 10,2 juta ton pada 2025 bisa disediakan. 

“Sejatinya sumbernya sudah ada dan pembangunan sarana produksi tidak membutuhkan waktu yang lama. Selain itu juga harus inklusif sehingga semua pihak bisa berkontribusi sebagai bagian dari pemasok,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .

Terbaru