JAKARTA. Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan belum memuaskan buruh. Hampir setahun kebijakan itu berlaku, kebijakan itu belum memberikan dampak yang signifikan terhadap buruh.
Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia mengatakan, aturan yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober tahun lalu tersebut memiliki beberapa kelemahan. Secara sistematis bertentangan dengan aturan di atasnya yakni Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 88 ayat (4) dalam UU tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam Pasal 89 ayat (1) disebutkan bahwa Upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dan ayat (2) menyatakan Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Implementasi PP tentang Pengupahan juga tidak dapat meredam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut Mirah, dilapangan masih banyak buruh yang di PHK. Selain itu, masih banyak buruh yang dipekerjakan menggunakan sistem kontrak yang kemudian diperpanjang tanpa ada kepastian diangkat menjadi karyawan tetap.
Adanya kebijakan ini juga membuat daya beli masyarakat menurun. Perhitungan peningkatan gaji setiap tahun hanya didasarkan pada perhitungan angka-angka yang telah dibuat dan tidak berdasarkan kenyataan dilapangan.
Oleh karena itu buruh meminta kepada Gubernur termasuk Bupati atau Walikota dalam menetapkan upah minimum tidak harus melaksanakan Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. "Karena nyata-nyata bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU No 13 tahun 2003," ujar Mirah.
Kebutuhan hidup layak
Untuk di DKI Jakarta, Mirah mengatakan agar Gubernur memerintahkan Dewan Pengupahan Provinsi untuk melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak sesuai UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai dasar perhitungan Upah Minimum Propinsi tahun 2017.
Berdasarkan hasil survei independen yang dilakukan oleh ASPEK Indonesia dan FSP LEM SPSI DKI Jakarta, di tujuh pasar tradisional dan 2 pasar modern di Jakarta, diperoleh nilai Kebutuhan Hidup Layak DKI Jakarta tahun 2016 adalah sebesar Rp 3.491.607.
Survei independen dilakukan pada bulan September 2016, di Pasar Cempaka Putih, Gondangdia, Jatinegara, Cengkareng, Santa, Sunter, Koja serta Hero Kemang dan Carefour Buaran, merujuk pada 60 komponen KHL berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 13 tahun 2012.
Berdasarkan nilai KHL September 2016 sebesar Rp 3.491.607 serta mempertimbangkan target inflasi tahun 2017 yang didasarkan atas PermenKeu No 93/PMK.011/2014 sebesar 4%, inflasi DKI Jakarta sebesar 2,40%, inflasi Nasional sebesar 3,07%, serta pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta sebesar 5,74% dan pertumbuhan ekonomi Nasional sebesar 5,04%, maka UMP DKI Jakarta tahun 2017 minimal sebesar Rp 3.831.690.
Yulianto, Ketua DPD FSP Logam Elektronik & Mesin SPSI DKI Jakarta menginformasikan bahwa hingga bulan Oktober 2016 Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta belum melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak sesuai yang diamanatkan UU 13 tahun 2003.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News