KELAPA SAWIT - JAKARTA. Pengembangan sawit di Papua dan Papua Barat perlu peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) petani secara besaran-besaran. Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa digunakan untuk ini selain untuk Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan sarana dan prasarana.
“Kita bisa optimalkan dana ini untuk pengembangan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat, sebagai bagian penting dari wilayah Timur Indonesia ,” kata Dirjen Perkebunan, Kasdi Subagyono, pada webinar dan live streaming “Melirik Perkebunan Sawit di Tanah Papua” yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan, Rabu (18/11).
Saat ini banyak investor mulai melirik Papua dan Papua Barat untuk membangun perkebunan sawit. Untuk itu perlu peningkatan kapasitas SDM secara besar-besaran.
Peningkatan SDM ini sangat monumental untuk Papua. Pemda setempat diminta mengusulkan ke Dirjenbun untuk pengembangan SDM dan Sarana Prasarana, bukan hanya PSR saja.
Baca Juga: Bertambah lagi, 15 ormas ajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi
Dalam kesempatan itu juga Kasdi menyatakan luas total kebun kelapa sawit 16,38 juta ha dan luas kebun sawit rakyat 6,72 juta ha. UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan kesempatan investasi seluas-seluasnya tetapi juga melindungi petani, dengan perusahaan wajib membangun kebun masyarakat seluas 20% dari total luas lahan yang diusahakan.
“Implementasi fasilitasi kebun masyarakat ini belum optimal. Banyak sekali yang harus diperbaiki dari perusahaan besar untuk melaksanakannya. Ketentuan ini menjadi frame basis skema kemitraan baru di kebun sawit.,” katanya.
Kemitraan pola baru adalah berbasis pada korporasi petani, dengan luas lahan 1000 ha . Petani berhimpun dalam kelembagaan dimana di dalamnya petani tidak hanya ditingkatkan kapasitas teknisnya saja tetapi kemampuan pengembangan kapasitas usaha. Mengacu pada food estate yang multi komoditas maka disini petani menjadi penghasil multi produk sehingga masuk ke hilir juga.
Petani terkonsolidasi dalam poktan/gapoktan, koperasi; mendapat fasilitasi sarpras dan pendukung lainnya; pembinaan dan pendampingan baik dari pemerintah dan perusahaan mitra; petani sebagai anggota koperasi mengusahakan budidaya sawit; koperasi bersama BUMN/BUMDES membentuk PT untuk mengelola korporasi petani; swasta sebagai mitra strategis petani bekerjasama dengan PT korporasi petani membangun pabrik; korporasi petani memasarkan CPO baik untuk food, oleochemical dan biodiesel.
Baca Juga: Pemerintah tegaskan bakal terus melawan diskriminasi sawit oleh Eropa
Lenis Kogoya, Staf Khusus Presiden Bidang Papua dan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua menyatakan bahwa sekarang banyak jalan dibangun di Papua. “Misalnya jalan Jayapura ke Wamena, Jayapura ke Sarmi mereka minta supaya disepanjang jalan itu dibangun perkebunan. Masyarakat setempat dijadikan transmigrasi lokal mengelola perkebunan itu,” katanya.
Lenis minta dibentuk Pokja yang beranggotakan Kemeterian Desa, PDT dan Transmigrasi , Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Kementeriam ATR/BPN, PemProv dan PemKab, LMA dan tokoh agama untuk membangun ini. “Kalau masyarakat punya aktivitas ekonomi perkebunan saya yakin masalah keamanan di Papua akan hilang,” katanya.
Lenis menyatakan selama ini dirinya banyak menyelesaikan masalah antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat adat jadi terlibat dalam pengelolaan perkebunan.
Di Keroom misalnya masyarakat adat menjadi petani plasma dengan luas 4 ha dan menjadi anggota koperasi, sekarang sudah menikmati hasilnya.
Direktur BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit) Anwar Sunari menyatakan PSR di Papua sudah keluar 1 rekomtek, 131 pekebun, luas lahan 265,74 ha, dana PSR tersalur Rp 6,64 milar, realisasi PSR Rp 6,37 miliar atau 95,88%. Sedang Papua Barat ada 4 rekomtek 767 pekebun, luas 1.544,5 ha, dana tersalur Rp 44,61 miliar , realisasi Rp5,82 miliar atau 13,05%.
“Kita mendorong kemitraan dengan antara petani perusahaan yang ada disekitarnya untuk percepatan PSR,” katanya.
BPDPKS juga ada program pengembangan SDM dengan pemberian beasiswa bagi anak petani. Diharapkan anak petani dari Papua setelah tamat bisa kembali untuk menjadi pendamping petani atau mengelola sendiri kebun sawitnya sehingga produktivitas meningkat.
Selanjutnya: Pandemi menjadi tantangan buat pemerintah dan pengusaha mencari pasar ekspor baru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News