GARAM-BANGKALAN. Udara terik tidak menghalangi semangat kelompok tani melakukan kegiatan produksi garam di Salt Center Banyu Sangka, Kabupaten Bangkalan, Madura pada Selasa (7/11). Sesekali terlihat beberapa petani hilir mudik membawa briket untuk dijadikan sebagai bahan bakar dalam proses kristalisasi garam.
Anggota Kelompok Pengelola Garam BumDES Wijaya Kusuma, Ubaidillah Husni (32), mengatakan bahwa proses kristalisasi tersebut memakan waktu sekira 14 hari. Itu setelah mereka menerapkan teknologi ulir filter (TUF) dan Inovasi Siram Berbakat di bawah binaan PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO).
“Kalau dulu (kristalisasi) bisa 21-28 hari. Karena prosesnya lebih cepat, produksi dalam satu kali masa panen juga bisa jadi lebih banyak,” ujarnya saat ditemui di lokasi Salt Center Banyu Sangka, Selasa (10/11).
Baca Juga: Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera Berhasil Kembalikan Produksi
PHE WMO sudah ‘terjun’ memberikan dukungan kepada kegiatan produksi garam di Banyu Sangka dalam beberapa tahun terakhir. Dimulai dari program Rumah Garam di 2018, yang diklaim telah membantu kelompok tani menghasilkan panen garam 11 ton di musim penghujan pada tahun tersebut.
Dalam perkembangannya, berbagai inovasi lain telah dikembangkan untuk meningkatkan produksi garam dan mengatasi permasalahan lainnya. Termasuk di antaranya n teknologi ulir filter (TUF) dan Inovasi Siram Berbakat.
Teknologi ulir filter atau TUF merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan dalam program pembinaan PHE WMO di Salt Center Banyu Sangka. Teknologi ini dilakukan dengan cara memodifikasi petak garam yang dibuat secara berulir. Hal ini untuk mempercepat laju air agar lebih cepat tua, sehingga mempercepat proses kristalisasi garam.
Sementara itu, proses kristalisasi garamnya menggunakan Inovasi Siram Berbakat, teknologi kristalisasi garam berbahan bakar briket. Program ini bekerja sama dengan Rumah Daur Ulang (RDU) Kabupaten Bangkalan. “
Mekanismenya, sampah yang telah dikumpulkan oleh kelompok selanjutnya ditukar dengan briket yang kemudian digunakan sebagai bahan bakar dalam proses kristalisasi. Lewat program ini, sekitar kurang lebih 15 ton sampai di Banyu Sangka diklaim berhasil dikelola saban bulan.
“Kami fokus pada 2 permasalahan. Yang pertama, permasalahan produksi garamnya, dan yang kedua adalah yang terkait dengan permasalahan sampah, sehingga kita menjawab kedua permasalahan tersebut dengan teknologi yang bisa menjawab keduanya,” ujar GM Zona 11 Muzwir Wiratama saat ditemui di lokasi Salt Center (7//11).
Seperti diketahui, jumlah produksi garam di Indonesia kian menurun. Persoalan ini juga turut terjadi di Madura, salah satu daerah penghasil garam terbesar di Indonesia.
Produksi garam di Kabupaten Bangkalan sendiri hanya hanya 740 ton setahun dari target yang ditetapkan yakni 4.000 ton. Artinya, realisasi produksi hanya mencapai 18,5% dari target di Kabupaten Bangkalan.
Di sisi lain, sampah juga menjadi persoalan tersendiri. Banyusangka yang berada di kawasan pesisir juga mendapatkan banyak sampah kiriman dari arus laut, bahkan kondisi ini juga menyebabkan banjir di Desa Banyusangka.
“Jadi sampah teratasi dengan kita membuat briket sebagai bahan bakar alat Siram Berbakat tadi, kemudian dengan adanya alat itu juga tentunya mampu meningkatkan kapasitas produksinya,” terang Muzwir.
Baca Juga: SKK Migas Mencatat Investasi Hulu Migas pada Kuartal III 2023 Meningkat
Perluasan Jaringan Kerja Sama Petani Garam
Ke depan, PHE WMO tengah mengawal program pengembangan HUB Jaringan Kerjasama Petani Garam Rakyat untuk memperluas manfaat dan menjaga stabilitas harga. Muzwir mengatakan, pihaknya berharap agar program tersebut bisa menjangkau lebih banyak kelompok masyarakat petani.
Lewat inovasi ini, petani garam tidak hanya dari Desa Banyusangka tetapi desa sekitar lainnya seperti Desa Tlangoh juga bekerjasama dengan BUMDes Wijaya Kusuma dalam proses distribusi garam.
“Pengembangan di 2023 ini integrasi hub, sehingga lebih banyak kelompok masyarakat petani garam bisa masuk dan dapat manfaat. Mudah-mudahan bisa menambah manfaat lebih besar,” ujarnya.
Sebelumnya, BUMDes Wijaya Kusuma telah menjamin stabilitas harga garam khususnya di wilayah Desa Banyusangka dan sekitar Kecamatan Tanjungbumi. Hingga saat ini sebanyak 7 petani garam bekerja sama dengan BUMDes Wijaya Kusuma.
Field Manager PHE WMO, Markus Pramudito, menerangkan bahwa program ini mendorong terjadinya kesepakatan kolektif lewat standarisasi harga yang disesuaikan dengan kondisi pasar. Harga yang disepakati ialah harga yang saling menguntungkan antara petani garam, pengrajin ikan asin dan juga BUMDes Wijaya Kusuma. Dengan begitu, program ini juga memutus rantai tengkulak yang selama ini merugikan petani garam.”
“Melalui program ini, pendapatan kelompok garam meningkat menjadi Rp 176 juta per tahun dan Rp 22 juta dari diversifikasi produk. Selain itu dari sisi lingkungan, 180 ton sampah terkelola setiap tahun,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News