Kasus Marsinah: Kejinya Pembunuhan Aktivis Buruh Pada Masa Orde Baru

Jumat, 28 April 2023 | 11:53 WIB   Penulis: Virdita Ratriani
Kasus Marsinah: Kejinya Pembunuhan Aktivis Buruh Pada Masa Orde Baru

ILUSTRASI. JAKARTA,08/05-USUT TUNTAS KASUS MARSINAHH. KONTAN/Fransiskus SImbolon/08/05/2018


HUKUM - Marsinah adalah buruh di perusahaan pembuat arloji PT Catur Putra Surya (PT CPS) milik Judi Susanto di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah tewas setelah menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja di PT CPS. 

Sebelum mayat Marsinah ditemukan mengenaskan di pinggir hutan jati Wilangan di Nganjuk, dia tampil gigih memperjuangkan 13 rekan sekerjanya yang di-PHK di kantor Kodim Sidoarjo seusai unjuk rasa.

Lantas, seperti apa kronologi kasus pembunuhan Marsinah? 

Baca Juga: Apa Itu Buruh? Ini Bedanya Buruh dan Pekerja

​Kronologi kasus pembunuhan Marsinah

Pada saat kasus pembunuhan Marsinah terjadi, Presiden Soeharto memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986.

Unjuk rasa berlangsung pada 3-4 Mei 1993 dipicu oleh pelanggaran sejumlah hak normatif buruh oleh pihak manajemen perusahaan. Pada hari pertama pemogokan, belum ada tuntutan yang diajukan para buruh. 

Dikutip dari buku "Kekerasan Penyidikan Dalam Kasus Marsinah" (1995) oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pada hari kedua pemogokan, petugas Koramil, Kodim, dan Polsek berusaha menghentikan pemogokan, tapi tidak berhasil. 

Baca Juga: Caption Hari Buruh Internasional 2023, Apresiasi dan Semangat untuk Pekerja

Kemudian, perundingan antara perwakilan buruh dengan petugas Depnaker akhirnya dilakukan. Dalam perundingan itu ada 12 tuntutan perbaikan kondisi kerja yang diajukan para buruh. 

Salah satunya adalah penyesuaian upah sesuai dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja No.50 tahun 1992 dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 sehari. Serta perhitungan upah lembur dan pembayaran cuti hamil. 

Semua tuntutan buruh dikabulkan, kecuali tuntutan pembubaran SPSI, penolakan intimidasi dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang dijanjikan perusahaan akan dirundingkan di kemudian hari. 

Baca Juga: Duh, Lampu Kuning Bisnis Tekstil Mulai Berkedip

Para buruh pun bekerja kembali seperti semula. Namun, usai perundingan, 13 orang buruh dipanggil oleh Kodim 0816 Sidoarjo.

Pada 5 Mei 1993, ke-13 buruh tersebut dipaksa mengundurkan diri dengan alasan sudah tidak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. 

Mereka mendapatkan intimidasi dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri bersegel yang telah disiapkan oleh petugas Kodim. 

Baca Juga: Cek 5 Rekomendasi Liburan di Tanggal Muda bersama tiket.com!

Pada saat kasus pembunuhan Marsinah terjadi, Presiden Soeharto memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986.

Jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Sehingga, para pekerja yang kritis harus menghadapi intimidasi dan penangkapan. 

Hal itu ternyata mengusik rasa solidaritas Marsinah. Marsinah kemudian menyampaikan surat protes ke pabrik dan berjanji akan mengadukan tindakan Kodium ke pengadilan. 

Baca Juga: Kumpulan Twibbon Hari K3 Internasional 2023, Bagikan Foto di Media Sosial

Setelah itu, Marsinah mampir ke rumah teman-temannya. Namun, rupanya malam itu adalah terakhir kalinya Marsinah dilihat oleh rekan-rekannya. 

Tiga hari kemudian, 8 Mei 1993, mayat Marsinah ditemukan segerombolan anak-anak telah membeku di sebuah gubuk di pinggiran hutan jati Wilangan, desa, Jegong, Wilangan, Nganjuk.

Lokasi penemuan mayat Marsinah tersebut sekitar 200 km dari PT CPS. 

Baca Juga: Penasaran Bagaimana Cara Menghitung THR? Ini Lo Ketentuannya!

Mayat Marsinah

Di mayat Marsinah ditemukan luka-luka bekas penyiksaan.

Di mayat Marsinah ditemukan luka-luka bekas penyiksaan. Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bertajuk "Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan Belum-Terselesaikan" (1995), adapun sebab-sebab kematian seperti yang tertera dalam visum et repertum dr. Jekti Wibowo. 

Dalam laporan itu disebutkan bahwa dalam tubuh Marsinah ditemukan Iuka robek tak teratur sepanjang 3 cm mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai sedalam rongga perut. 

Baca Juga: Kartu Prakerja Gelombang 51 Tahun 2023 Sudah Dibuka, Ini Syarat Daftarnya

Di dalam ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Disamping itu selaput dara robek dan memar pada kandung kencing serta usus bagian bawah. 

Sedangkan rongga perut mengalami pendarahan kurang lebih satu liter. Sebulan setelah itu, kematian Marsinah mendapat reaksi yang cukup besar dari dalam maupun luar negeri. 

Baca Juga: Ini Besaran Biaya Pelatihan yang Didapat Jika Ikut Kartu Prakerja Gelombang 51

Peran militer dalam kasus pembunuhan Marsinah 

Hingga kini, Marsinah masih dikenang sebagai pahlawan buruh.

Aparat militer lalu menangkap dua satpam dan tujuh pimpinan PT CPS. Mereka digelandang ke Markas Detasemen Intel (Den Intel) Kodam V Brawijaya Wonocolo. Satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya.

Mereka disiksa agar mengaku telah merencanakan pembunuhan Marsinah. Akibat penyiksaan tersebut, Mutiari (27) harus mengalami keguguran bayi yang sudah dikandungnya selama tiga bulan. 

Mutiari adalah ketua bagian personalia dan satu-satunya perempuan dalam penyekapan di Kodam V Brawijaya.

Baca Juga: Kemnaker: THR Bagi Pekerja atau Buruh Tidak Boleh Dipotong

Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka ke Polda Jatim. Siksaan verbal maupun fisik juga mereka rasakan di Polda Jatim, meski dengan intensitas yang lebih rendah.

Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka terbebas dari dakwaan. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun. 

Namun, mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).

Baca Juga: Jelang Lebaran, KSPI Sebut 10.000 Buruh Belum Mendapat THR

Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus pembunuhan Marsinah direkayasa. 

Para aktivis terus menyuarakan tuntutan agar kasus pembunuhan Marsinah diselidiki dengan terang dan kecurigaan terhadap keterlibatan aparat militer diungkap. 

Hingga kini, Marsinah masih dikenang sebagai pahlawan buruh. Ia juga dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien. Kisah Marsinah juga telah diangkat ke dalam berbagai karya sastra dan seni pementasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Virdita Ratriani

Terbaru