PASURUAN. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan Pusat Studi Mangrove di Desa Pulokerto, Kabupaten Pasuruan melalui Gerakan Konservasi guna meningkatkan pembangunan kelautan dan perikanan sebagai salah satu penopang pembangunan ekonomi nasional.
Menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan Suseno Sukoyono, kegiatan Gerakan Konservasi pada saat ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Khususnya dalam rangka mendukung pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan.
"Pengembangan SDM ini dirasa sangat penting karena mengelola sumberdaya alam kelautan dan perikanan pada hakekatnya adalah mengelola SDM-nya. Apalagi, guna menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) 2015," ujarnya, di Pusat Studi Mangrove di Pasuruan, Jatim, Rabu.
Ia menjelaskan, Pusat Studi Mangrove yang merupakan tempat penyelenggaraan acara ini berlokasi di Stasiun Lapangan Praktik, di Desa Pulokerto, Kecamatan Kraton, Pasuruan memiliki luas 22,5 hektare lebih. Jarak dari Kota Surabaya 66 kilometer dan dari kota Pasuruan hanya delapan kilometer.
"Walau diresmikan pada Juli lalu oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, penanaman mangrove sudah dilakukan sejak 2006. Secara total telah tertanam kurang lebih sebanyak 100.000 batang mangrove dengan delapan jenis dominan dan lebih dari 10 jenis mangrove minor yang tumbuh secara alami," ucapnya.
Mangrove tersebut, tambah dia, telah mencapai umur tiga hingga tujuh tahun dengan ketinggian berkisar dua hingga enam meter. Vegetasi mangrove tumbuh dengan baik dan tersebar di kawasan penyangga (di luar petakan tambak) seluas delapan hektare dan di tambak berupa tambak mangrove seluas empat hektare.
"Di samping itu mangrove tumbuh di pematang tambak seluas empat hektare dan sungai/saluran air sepanjang 1.100 meter," tuturnya.
Pada kesempatan sama, Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan (Poltek KP) Sidoarjo, Endang Suhaedy menyatakan, alasan pengembangan Mangrove saat ini dikarenakan isu pemanasan global, kian naiknya permukaan air laut, dan memperbaiki kualitas lingkungan di kawasan pesisir. Di sisi lain, mampu mengantisipasi terjadinya bencana tsunami.
"Untuk itu, Gerakan Konservasi ini perlu dilakukan seperti menanam Mangrove di saluran tambak. Misalnya jenis Mangrove Rhizophora sp yang ditanam di saluran tambak dan kawasan penyangga, dan tambak silvofishery (Wana Mina)," ujarnya.
Ia mengemukakan, melalui model Tambak Mangrove yang dikembangkan Politeknik KP Sidoarjo diyakini terjadi keseimbangan antara lingkungan dan nilai ekonomi. Kini Tambak Mangrove yang dikembangkannya diberi nama Tambak Alas oleh Kepala Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan (BPSDM KP), Suseno Sukoyono.
"Dengan tambak yang memiliki arti nama tambak masyarakat, sekarang warga di Pasuruan tidak hanya bisa menanam Mangrove melainkan memelihara Udang Windu, Ikan Bandeng, Rumput Laut, dan Kepiting Soka. Bahkan, pada usia tiga hingga empat bulan Udang Windu sudah bisa dipanen," katanya.
Selain itu, lanjut dia, Ikan Bandeng dapat dipanen pada usia empat hingga enam bulan. Berikutnya Rumput Laut yang dikembangkan di Pusat Studi Mangrove tersebut setelah diteliti memiliki mutu kandungan karaginan sangat tinggi. Sementara, melalui budi daya Kepiting Soka di daerah sama maka mampu mencatatkan produksi antara 25-40 kilogram per hari.
"Pengembangan Kepiting Soka di sini juga mempunyai tingkat produktivitas sangat tinggi atau mencapai 1.000 keranjang per setengah hektare," tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News