DUGAAN KORUPSI - BALI. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, sektor-sektor yang berpotensi melakukan tindakan korupsi dan gratifikasi tidak hanya sektor pemerintahan saja yang menggunakan dana APBN. Namun demikian sektor swasta juga memiliki potensi besar melakukan korupsi
Hal ini juga menjadi fokus KPK agar aturan ini turut menjerat sektor swasta yang rencananya akan ditambahkan dalam undang-undang tipikor tahun ini.
Saat ditemui di acara bimbingan teknis anti korupsi kepada pekerja BPJS Ketenagakerjaan, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja dan Antar Komisi dan Instansi KPK perwakilan Bali, Sujanarko menyebutkan, perilaku ini menyebabkan konsumen menjadi korban.
“Kalau korupsi di sektor swasta itu enggak perlu menyangkut unsur pemerintah, misalkan ada supplier sayur di pasar Keramat Jati yang menyogok pengawas, karena ada unsur korupsinya maka sayur yang awalnya harga Rp 10.000 per kg menjadi Rp 11.000 per kg, umumnya sogokan ini untuk minta dimudahkan,” kata Sujanarko di Legian, Bali Rabu (23/1).
Ia menyebutkan bahwa di negara-negara lain, korupsi tidak menimbulkan kerugian bagi elemen negaranya. Hal inilah yang sebelumnya menjadi rekomendasi PBB saat melakukan review KPK di mana PBB menginginkan kerugian negara untuk dihilangkan akibat korupsi.
“Jadi rata-rata definisi korupsi itu hanya menguntungkan diri sendiri atau orang lain, itu rekomendasi PBB,” jelasnya
Ia juga menyebut bahwa korupsi politik juga masuk dalam ranah korupsi swasta di mana korupsi yang dilakukan antara dua kandidat saling sogok. Walaupun hal ini tidak mengandung unsur ‘negara’ namun ini bisa ditindak tegas melalui undang-undang Tipikor sektor swasta.
“Korupsi politik itu kalau masuk korupsi swasta, bisa di tangani penegak hukum. Antar kandidat nyogok walau enggak ada unsur negaranya dan itu masuk korupsi swasta. Jadi kalau korupsi swasta diatur, itu bisa merambah ke korupsi politik,” tegasnya.
Di lain pihak, Sujanarko yang saat itu akan memberikan materi bimbingan teknis kepada peserta sertifikasi dari BPJS Ketenagakerjaan turut mengomentari masalah defisit yang terjadi pada BPJS Kesehatan. Ia menyebutkan bahwa hal yang terjadi pada BPJS Kesehatan memang berbanding terbalik dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Menurutnya BPJS Ketenagakerjaan akan menuai manfaat dalam periode beberapa tahun usai menjalankan pekerjaan, sedangkan BPJS Kesehatan menuai manfaat dalam beberapa bulan setelah masuk dalam kepesertaan. Hal ini membuat tidak ada kesetaraan dalam pendapatan dan pengeluaran.
“Kalau BPJS Kesehatan itu kan carut-marut, bedanya dengan BPJS Ketenagakerjaan karena panennya di akhir kalau sudah pensiun atau meninggal jadi duitnya menumpuk terus. Kalau BPJS Kesehatan panennya di depan baru bayar Rp 50.000 sudah sakit dan cover-nya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta. Ini harusnya pelayanan seimbang dengan iuran,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News