Pemprov DKI Diminta Matangkan Rencana Penerapan Jalan Berbayar (ERP), Ini Alasannya

Senin, 13 Februari 2023 | 10:48 WIB   Reporter: Yudho Winarto
Pemprov DKI Diminta Matangkan Rencana Penerapan Jalan Berbayar (ERP), Ini Alasannya

ILUSTRASI. OJOL TOLAK ERP. Sejumlah pengemudi ojek online (ojol) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Balai Kota DKI, Jakarta Pusat,


JABODETABEK - ​JAKARTA. Rencana penerapan sistem electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar di 25 ruas jalan di DKI Jakarta harus benar-benar disiapkan secara matang. Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta dapat mencontoh kota-kota besar di negara lain yang sudah menerapkan ERP, seperti Singapura dan London, Inggris.

Ketua Forum Transportasi Perkotaan MTI Budi Yulianto mengatakan, penerapan ERP memang salah satu langkah mengurai kemacetan di Jakarta yang semakin parah. Namun menurutnya, untuk menerapkan ERP dibutuhkan kajian yang sangat panjang dan matang karena kebijakan ini akan memiliki dampak sosial yang cukup luas.

Beberapa negara yang telah lebih dulu menerapkan ERP juga tidak seluruhnya berhasil. Misalnya di Inggris. Selain kota London, Inggris juga sempat menerapkan ERP untuk kota-kota lainnya seperti Cardiff, Birmingham, dan Liverpool.

Baca Juga: Kapan Penerapan ERP? Ini Jawaban Pemprov DKI

“Namun di tiga kota itu tidak berhasil lantaran masyarakat menolak keberadaan ERP yang diyakini program tersebut tidak akan berhasil mengurai kemacetan,” kata Budi dalam keterangannya akhir pekan.

Penerapan ERP menurut Budi memang tidak selalu mulus, apalagi ide ini juga sulit mendapatkan dukungan publik di berbagai kota-kota di belahan dunia, seperti Hong Kong, Edinburgh, ataupun kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat (AS).

Bahkan di Hong Kong sendiri yang merupakan kota pertama yang memperkenalkan ide ERP justru gagal mengimplementasikannya karena kurangnya dukungan masyarakat terhadap ide ini.

Lain ceritanya dengan New York City, yang walaupun sudah mendapatkan persetujuan oleh badan legislatif di tahun 2019, namun pembahasan teknis yang begitu rumit membuat pelaksanaannya belum juga terlaksana hingga tahun 2023.

Rencana penerapan ERP oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, lanjut Budi, diprediksi juga akan mengalami hal serupa. Dimana rencana itu akan mendapat banyak penolakan dari pengguna kendaraan pribadi karena mereka menganggap dengan adanya ERP, masyarakat dipaksa membayar dan tidak ada pilihan lain ketika hendak melalui ruas jalan tersebut.

Hal itu dikarenakan fasilitas transportasi yang aman dan nyaman secara ekonomi sebagai kompensasinya belum tersedia. Dan ketika masyarakat memilih menggunakan kendaraan umum berupa taksi online dan ojek online namun tetap terkena ERP tentu juga akan keberatan.

“Jadi Pemda DKI Jakarta harus benar-benar membuktikan kepada masyarakat bahwa program ini akan berhasil dan bisa menciptakan integrasi transportasi strategis yang dapat mengatasi kemacetan dan kesulitan-kesulitan teknikalnya. Nah, ini harus dipahami Pemda DKI Jakarta karena program ini banyak melibatkan kebijakan,” ucap Budi.

Baca Juga: Penjabat Gubernur DKI Sebut Penerapan Jalan Berbayar (ERP) Masih Jauh

Menurut Budi, ERP bukan satu-satunya sistem transportasi yang bertujuan untuk mengurai kemacetan. Seharusnya, kata dia, penanganan masalah transportasi mengacu pada sustainable transportation yaitu transportasi merupakan tujuan utama sebagai penggerak ekonomi wilayah perkotaan dan perkembangan sosial. Dimana transportasi harus mengandung unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam dunia transportasi ada istilah ASI, yang merupakan singkatan dari Avoid, Shift, dan Improve. Avoid berarti mengajak masyarakat untuk mengurangi perjalanan sehingga terbentuk konsep mixed land used.

Konsep ini memungkinkan berbagai penggunaan lahan termasuk perumahan, komersial, dan industri ditempatkan bersama secara terintegrasi yang mendukung bentuk transportasi berkelanjutan seperti angkutan umum, jalan kaki, dan bersepeda. Dengan begitu, orang kecenderungannya akan menggunakan transportasi umum.

“Jadi masyarakat tinggal di situ, bekerja di situ, hingga melakukan aktivitas belanja di situ. Dengan konsep ini, masyarakat yang ingin berpergian tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi tetapi cenderung menggunakan angkutan umum. Di sinilah tata ruang kota harus sinergi dengan transportasi,” jelasnya.

Konsep kedua adalah Shift. Dalam konsep ini, orang-orang yang masih menggunakan kendaraan pribadi didorong untuk mulai beralih ke angkutan umum. Artinya harus ada penyediaan angkutan umum yang komprehensif dan terintegrasi antara satu dengan yang lain, dengan fasilitas pendukung pejalan kaki dan pesepeda.

Konsep lain yang bisa dilakukan menurut Budi adalah Improve. Contoh dari Improve ini adalah pengalihan dari kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil dengan kendaraan low emission. Tapi konsep ini baru bisa dilakukan saat program pengurangan kendaraan berbahan bakar fosil memang sudah dijalankan oleh pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto

Terbaru