MRT - JAKARTA. Moda transportasi publik Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu ( MRT) dianggap kurang efektif menarik minat masyarakat untuk berpindah moda transportasi.
Meski menjanjikan perjalanan dalam waktu singkat dan bebas macet, namun tarifnya dianggap kurang kompetitif. Untuk perjalanan terjauhnya dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan sebaliknya, dikenakan tarif Rp 14.000.
"Dengan tarif sebesar itu, penumpang yang menggunakan MRT Jakarta masih tetap kelas menengah ke atas," ujar pengamat transportasi Djoko Setijowarno kepada Kompas.com, Rabu (3/4).
Menurut Djoko, yang diuntungkan mereka yang sehari-harinya memang melewati jalur Lebak Bulus hingga Bundaran HI. Sementara untuk jurusan lainnya tetap harus transit di halte tujuan mereka dan berpindah moda transportasi, seperti TransJakarta atau ojek online.
Penumpang juga harus membayar uang tambahan karena berpindah moda. "Bagi yang sudah memakai Bus Transjakarta tidak perlu beralih ke MRT Jakarta. Tidak ada gunanya jadinya," kata Djoko.
Djoko mengatakan, dengan tarif tersebut, kemungkinan masyarakat kelas menengah ke bawah kemungkinan besar tetap menggunakan Transjakarta yang bertarif Rp 3.500. "Ke depan, Pemprov DKI Jakarta bisa menerapkan kartu khusus bagi warga kurang mampu supaya mereka bisa naik MRT Jakarta," sebut Djoko.
Djoko menambahkan, Pemprov DKI Jakarta dan MRT perlu belajar bagaimana PT Kereta Api Indonesia, melalui anak perusahaannya PT Kereta Commuter Jabodetabek menggaet minat penumpang saat baru mulai beroperasi.
Tak hanya tarif yang murah, tapi lingkungan stasiun dibuat tertutup dan bersih. Jenis kereta pun diganti dengan yang lebih nyaman serta pelayanannya semakin bagus. Dengan layanan yang bagus, kata Djoko, perlahan tarif dinaikkan. Namun, pemakai KRL tak merasa keberatan dan pangsanya tak berkurang, malah terus bertambah.
Setelah enam tahun beroperasi, rata-rata sehari KRL bisa mengangkut 1,1 juta penumpang. "Itulah gunanya Outline Business Case. Jika tidak ada pengupayaan properti, maka jangan harap juga tarifnya bisa murah. Subsidi itu dianggarkan, tapi pendapatan properti bisa menjadi solusi untuk meringankan," kata Djoko.
Selain itu, menurut Djoko, tantangan MRT selanjutnya adalah bagaimana mengubah kebiasaan pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke kendaraan umum. Sebab, MRT dianggap kurang menarik minat masyarakat yang terbiasa membawa kendaraan pribadi untuk bepergian.
Jika dihitung-hitung pengeluaran bensin harian, masih lebih murah ketimbang naik MRT. Alasan lainnya yakni ketersediaan transportasi umum tidak sampai tempat tinggalnya sehingga memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi.
MRT memang menawarkan kenyamanan dan kecepatan, yang tentunya berbeda dengan menggunakan kendaraan pribadi. Namun, diperkirakan persentase perpindahan dari angkutan pribadi ke MRT belum signifikan, apalagi rute yang beroperasi masih terbatas.
Melihat analisa tersebut, kata Djoko, maka MRT kurang efektif jika ditujukan untuk mengurangi kemacetan Jakarta. Paling tidak hanya bisa mengurangi kemacetan di jalan-jalan sepanjang lintasan MRT Jakarta.
Jika perpindahan menggunakan kendaraan pribadi ke kendaraan umum tidak kunjung terjadi, maka perlu pembatasan mobilitas kendaraan pribadi sepanjang Bundaran HI hingga Lebak Bulus. "MRT Jakarta perlu daya tarik. Persiapan integrasi antarmoda, integrasi tarif, dan pembatasan kendaraan pribadi harus dilakukan," kata Djoko.
Pembatasan kendaraan pribadi dapat berupa electronic road pricing (ERP), kebijakan ganjil genap, tarif parkir mahal, dan lahan parkir yang terbatas. Hal itu menjadi tantangan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengupayakan pemakaian transportasi umum semakin tinggi.
Masih ada fase kedua dan fase berikutnya dalam pembangunan MRT hingga ke rute lainnya di Jakarta. Ditambah dengan pembangunan LRT Jabodebek yang nantinya akan teritengrasi moda transportasi lainnya. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Harga Kurang Kompetitif, MRT Dianggap Kurang Menarik Minat Pindah Moda"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News