Pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng kritik kebijakan diskon harga rokok

Rabu, 24 Juli 2019 | 15:02 WIB   Reporter: Handoyo
Pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng kritik kebijakan diskon harga rokok


INDUSTRI ROKOK - JOMBANG. Pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) mengkritik kebijakan diskon rokok dari harga banderolnya atau harga yang tertera pada pita cukai.

Kebijakan ini tak sejalan dengan upaya pemerintah dalam menurunkan tingkat konsumsi rokok oleh masyarakat Indonesia.  “Harusnya, saat ini yang dilakukan adalah menaikkan harga rokok,” ujar Gus Sholah akhir pekan lalu. 

Dia menjelaskan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Sebanyak 26,6 persen pemuda di Indonesia adalah perokok. Kondisi ini merata di semua daerah di Indonesia. Tingkat konsumsi (prevalensi) merokok juga meningkat 27 persen menjadi 34 persen. 

Saat ini, ketentuan diskon rokok diatur melalui ketentuan diskon diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Peraturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah.

Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.

Dengan demikian, konsumen mendapatkan diskon sampai 15 persen dari harga yang tertera dalam banderol. Aturan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau.

Harga rokok yang terjangkau, salah satunya akibat praktik diskon, membuat konsumsi produk tembakau ini sulit turun. Ironisnya, pembeli produk rokok murah sebagian besar adalah kelompok miskin.

“Pengeluaran rokok di kelompok miskin itu 6,5 kali konsumsi daging di keluarganya,” cetus Abdillah Ahsan, Peneliti Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia di kesempatan yang sama.

Dia menjelaskan saat ini sebanyak 70 persen laki-laki usia antara 25-44 tahun merokok. Setiap tahun, seseorang harus membakar  rata- rata Rp 5,4 juta untuk membeli rokok. Angka ini kemungkinan akan bertambah jika harga terus rokok mengalami diskon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .

Terbaru