JAKARTA. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tak ingin menduga-duga adanya lobi perusahaan pengembang PT Agung Podomoro Land (APL) dengan anggota DPRD DKI Jakarta untuk menurunkan nilai kewajiban yang harus diserahkan pengembang kepada pemerintah dalam Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZPW3K).
Jika benar ada lobi untuk tujuan seperti itu, Ahok merasa dirinya telah dikhianati oleh APL.
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZPW3K) 2035 disebutkan kewajiban tambahan pengembang sebesar 15% dari nilai jual objek pajak (NJOP). Namun, Raperda itu tak kunjung disahkan, karena diduga masih ada tarik ulur antara Pemprov DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta terkait besaran kewajiban tambahan pengembang.
"Enggak tahu. Makanya saya enggak berani menduga," kata Ahok di Balai Kota, Jumat (1/4) malam.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Presdir PT APL, AWJ, sebagai tersangka kasus itu. AWJ ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai pemberi suap kepada Sanusi.
Dalam operasi tangkap tangan, KPK menyita uang tunai sebesar Rp 1,1 miliar, yang diterima Sanusi sebanyak dua kali.
"Kalau misalnya itu (lobi penurunan kewajiban pengembang) benar, berarti (APL) mengkhianati saya juga. Di depan, sama saya tandatangan iya, tapi di belakang nego-nego," kata Ahok.
Menurut Ahok, sebelumnya ia telah mewanti-wanti Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah dan Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuti Kusumawati untuk tidak menurunkan kewajiban tambahan pengembang reklamasi. "Kewajiban 15% bagi pengembang itu bukan saya yang tetapkan, tapi berdasarkan hitungan. Kami minta ahli hitung berapa yang pantas kewajiban pengembang kembalikan pada kami," tuturnya. (Kurnia Sari Aziza)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News