TEMBAKAU - JAKARTA. Sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur sektor tembakau, dan adanya wacana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT), menuai penolakan dari pekerja industri hasil tembakau (IHT).
Ini karena kebijakan tersebut dinilai bisa mengancam keberlangsungan industri dan kesejahteraan jutaan pekerja yang selama ini menggantungkan hidupnya.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestariyanto berharap pemerintah menderegulasi dengan membatalkan aturan tersebut.
Baca Juga: Aturan Tembakau Diperketat, Petani Bondowoso Terancam Terdampak
"Pastinya setuju dengan adanya deregulasi, apalagi pasal-pasal itu betul-betul membatasi ruang gerak ekosistem pertembakauan," kata Waljid, Kamis (26/6/2025).
Ia menyebut meski niat awal PP 28/2024 adalah untuk mengatur, namun isi pasal-pasalnya berpotensi mematikan ekosistem pertembakauan nasional.
Misalnya, aturan terkait pembatasan ketat terhadap iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau, hingga wacana penyeragaman kemasan dalam aturan turunan PP 28/2024.
Selain itu, PP ini juga menjadi rujukan utama dalam revisi peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai wilayah.
"Itu kan terkait ruang gerak industri hasil tembakau semakin tidak bisa bergerak, artinya jualan saja susah. Apalagi mau promosi dan lain-lain, susah," ujarnya.
Baca Juga: Tembakau: Denyut Tradisi dan Ekonomi Lokal
Menurutnya, pembatasan yang semakin ketat akan berdampak langsung pada penurunan penjualan. Hal ini juga bisa mendorong perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk pengurangan tenaga kerja.
"Efisiensi itu tidak hanya di lini produksi, tapi juga menyasar sumber daya manusia. Ini bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK),” jelasnya.
Atas alasan tersebut, pihaknya menolak kebijakan pertembakauan dalam PP 28/2024 sejak awal disahkan, dan berencana mengirim surat resmi kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk menyampaikan penolakan terhadap pasal-pasal yang mengatur produk hasil tembakau.
Selain aspek non-fiskal, Waljid juga menyoroti kebijakan fiskal berupa kenaikan CHT yang hampir terjadi setiap tahun. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan daya beli masyarakat yang menurun, kebijakan ini dinilai tidak tepat.
Baca Juga: Industri Hasil Tembakau Dihantam Tekanan Bertubi-Tubi, Nasib Pekerja Terancam
"Daya beli masyarakat turun, kemudian masyarakat itu akan tetap merokok tapi dengan rokok yang lebih murah. Sekarang lagi marak yang tanpa cukai itu, yang ilegal," jelasnya.
Ia menyatakan kombinasi antara regulasi pengendalian yang berlebihan serta kenaikan cukai justru, mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal, yang pada akhirnya merugikan negara karena hilangnya potensi penerimaan cukai.
Pemerintah kata dia, seharusnya tidak hanya fokus pada pembatasan dan kenaikan tarif, tetapi juga serius dalam menekan peredaran rokok ilegal melalui penegakan hukum yang konsisten.
“Lebih baik tunda dulu (moratorium) saja kenaikan cukai rokok, paling tidak untuk tiga tahun ke depan,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Serikat Pekerja Tembakau Akan Bersurat ke Presiden Minta Deregulasi PP 28/2024, https://www.tribunnews.com/nasional/2025/06/27/serikat-pekerja-tembakau-akan-bersurat-ke-presiden-minta-deregulasi-pp-282024.
Selanjutnya: Kapuspenkum Kejaksaan Agung: Pidsus (Jampidsus) Sedang Menelaah Kimia Farma (KAEF)
Menarik Dibaca: Ini Investasi Terbaik Saat Ini Menurut Robert Kiyosaki, Harganya Siap Meledak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News