DKI JAKARTA - JAKARTA. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bakal mengambil alih pengelolaan air minum lewat renegosiasi kontrak. Pasalnya, berdasarkan kontrak yang dijalin PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja, DKI dan warganya mengalami kerugian.
"Tujuannya (pengambilalihan) adalah mengoreksi kebijakan perjanjian yang dibuat di masa Orde Baru tahun 1997. Dan kita tahu selama 20 tahun perjalanan perjanjian ini, pelayanan air bersih di Ibu Kota tidak berkembang sesuai dengan harapan," kata Anies dalam konferensi pers di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2).
Anies menjelaskan, saat kerja sama dimulai, cakupan air di DKI Jakarta sebesar 44,5% pada 1998. Pada 2018, cakupan air bersih baru sebesar 59,4%. Padahal, targetnya cakupan layanan air sebesar 82% di tahun 2023. "Artinya, waktu 20 tahun hanya meningkat 14,9%," ujar Anies.
Kontrak dengan Aetra dan Palyja akan berakhir kurang lebih empat tahun lagi di 2023. Anies menyayangkan dua perusahaan swasta itu tak mencapai target penyediaan air bersih bagi warga kendati sudah 20 tahun menguasai pengelolaan air Jakarta.
Padahal, Pemprov DKI Jakarta melalui PAM Jaya setiap tahunnya harus memberikan jaminan keuntungan 22%.
"Coba sederhananya begini. Targetnya tidak tercapai. Tapi keuntungannya wajib dibayarkan oleh Negara. Kalau hari ini angkanya tercapai, mungkin lain cerita. Tapi hari ini angka itu tidak tercapai. Target jangkauannya. Tapi negara berkewajiban (membayar)," kata Anies.
Sementara itu anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum bentukan Anies, Nila Ardhianie menjelaskan jaminan keuntungan yang harus dibayar ke pihak swasta selama ini, memberatkan DKI.
DKI masih membayar keuntungan kepada Palyja, namun sudah tak lagi kepada Aetra. "Ada kekurangan dividen itu yang harus dibayarkan oleh PAM Jaya. Nanti kalau PAM Jaya tidak bisa, itu harus ditanggung oleh Pemprov yang nilainya tidak sedikit, sampai triliun-triliunan. Kira-kira kurang lebihnya Rp 8,5 triliun," ujar Nila.
Direktur Amrta Institute itu merinci dari Rp 8,5 triliun, sebesar Rp 6,7 triliun untuk Palyja dan Rp 1,8 triliun untuk Aetra. Di sisi lain, DKI tak bisa menambah layanan bagi warganya sebab Palyja dan Aetra punya hak eksklusivitas.
"Jadi memang keseluruhan layanan ada di tangan swasta. Lalu kemudian juga ada pasal yang mengatur mengenai self financing. Ini juga yang membuat Pemerintah Provinsi, (jika) mau menyalurkan dananya untuk membantu rakyatnya sendiri itu juga jadi sulit. Harus ada kesepakatannya dulu. Harus ada MoU begitu yang tidak mudah dilakukannya," ujar Nila.
Untuk itu, DKI akan mengambil alih pengelolaan air lewat langkah perdata. Langkah perdata yang dimaksud yakni dengan renegosasi kontrak. Kebijakan pengambilalihan pengelolaan di bawah Gubernur Anies Baswedan dilakukan sejak Mahkamah Agung (MA) memerintahkan swastanisasi itu disetop lewat putusan kasasi pada 2017.
Anies kemudian membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang bertugas merumuskan kebijakan strategis sebagai dasar pengambilan keputusannya.
Namun salah satu tergugat dalam perkara itu, yaitu Kementerian Keuangan, tidak menerima putusan kasasi MA itu dan mengajukan peninjauan kembali (PK).
MA kemudian mengabulkan permohonan PK yang diajukan Kementerian Keuangan. Dengan demikian putusan sebelumnya dibatalkan. Putusan tersebut keluar pada 30 November 2018.
Itu artinya, swastanisasi pengelolaan air di Jakarta tetap boleh dilanjutkan. Namun Anies memastikan tetap akan mengikuti keputusan MA di tingkat kasasi untuk menghentikan swastanisasi. (Nibras Nada Nailufar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News