Arti Bubur Suro, Sejarah, dan Filosofinya

Rabu, 19 Juli 2023 | 09:12 WIB   Penulis: Virdita Ratriani
Arti Bubur Suro, Sejarah, dan Filosofinya


AGAMA DAN KEPERCAYAAN - Bubur suro adalah makanan yang sering dihidangkan di bulan Muharam. Bubur suro biasanya dihidangkan menjelang malam 1 Muharam namun ada pula yang menghidangkannya pada tanggal 10 Muharam. 

Arti bubur suro diambil dari kata "Asyura" dalam bahasa Arab berarti "sepuluh", yakni tanggal 10 bulan Muharam.  Bubur Suro kini masih bisa dijumpai di beberapa wilayah Jawa Timur, salah satunya Madura, dan sebagian wilayah Jawa Tengah seperti Yogyakarta, Solo, hingga Semarang.

Nah, komposisi dan cara membuat bubur suro ini pun berbeda tergantung tradisi yang ada di wilayahnya. Misalnya, komposisi bubur suro yang ada di Sumenep, Jawa Timur berbeda dengan di Jawa Barat. 

Lantas, seperti apa sejarah dan filosofi bubur suro? 

Baca Juga: 7 Makanan yang Cocok Dikonsumsi Lansia Ompong, Empuk Tapi Tetap Bergizi

Sejarah dan filosofi bubur suro 

Sejarah bubur suro ini awalnya dihadirkan untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro yang bertepatan dengan 1 Muharam dan sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram. 

Dikutip dari laman Indonesia.go.id, menurut pemerhati budaya Jawa, Arie Novan, filosofi bubur suro adalah lambang rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.

Sementara sumber lain menyebutkan sejarah bubur suro untuk memperingati hari di mana Nabi Nuh selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda dunia saat itu. 

Pada waktu itu, Nabi Nuh bertanya kepada para sahabat apakah masih ada makanan sisa di dalam kapal lalu sahabat menjawab "Masih ada ya nabi". 

Ia menyebutkan bahan makanan yang tersisa ada kacang poi, kacang adas, ba'ruz, tepung, dan kacang hinthon. Bahan tersebut lalu dimasak bersamaan. Di sinilah cikal bakal terbentuknya bubur suro. 

Baca Juga: 5 Manfaat Kacang Hijau untuk Kesehatan Tubuh yang Wajib Diketahui

Bubur Suro di Sumenep, Jawa Timur 

Masyarakat Sumenep, Madura, Jawa Timur, setiap tahun membuat bubur Muharam atau Tajin Suro. Dikutip dari buku "Dialetika Islam dan Budaya Nusantara" (2020) Tajin Suro terbuat dari bubur nasi dan kuah beras ketan. 

Bubur Suro terdiri dari dua warna yakni merah dan putih. Dalam keyakinan masyarakat setempat, bulan Muharam dipandang sebagai bulan nahas. 

Pantangan bulan Suro adalah dilarang berpergian jauh agar terhindar dari bahaya. Warna merah pada Tajin Sora artinya adalah simbol darah. 

Darah tersebut adalah darah yang tumpah dari Husein, cucu Nabi Muhammad SAW yang terbunuh di Padang Karbala. Adapun warna putih melambangkan kesucian perjuangan Husein. 

Baca Juga: Selain Air Kelapa, Makanan dan Minuman Ini Baik Dikonsumsi Penderita Tipes

Bubur Suro di Jawa Barat

Selain di Madura, tradisi membuat bubur suro juga dapat ditemukan di Jawa Barat. Di Sumedang, setiap tahun pada bulan Muharam masyarakat rutin membuat bubur suro. 

Bubur suro terbuat dari beras, santan, jahe, sereh, dan garam. Bubur suro ini dihiasi dengan aneka toping seperti irisan jeruk bali dan butiran delima. 

Bubur Suro juga ditaburi 7 jenis kacang-kacangan mulai dari kacang tanah, kacang hijau, kacang mede, kedelai, kacang tholo, kacang merah, hingga kacang bogor. 

Elemen tujuh rupa seperti kemangi, sirih, kembang mayang juga dijadikan hiasan dalam bubur suro. Tradisi makan bubur suro atau bubur Muharam juga dapat ditemui di Kalimantan. 

Demikian sejarah dan filosofi bubur suro. 

Selanjutnya: Tips Menurunkan Darah Tinggi Tanpa Obat, Coba Minum Jus Penurun Darah Tinggi Ini

Menarik Dibaca: Bintangi Barbie, Tonton Juga 6 Film Populer Margot Robbie Ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Virdita Ratriani

Terbaru