JAKARTA. Indonesia Corruption Watch meminta Pemerintah Provinsi dan DPRD DKI Jakarta membuka draf Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015. Selain mengakhiri polemik karena perbedaan versi, cara ini juga memutus modus penyimpangan dengan menyusupkan mata-mata anggaran titipan.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo seusai diskusi ”Jakarta Menolak Gratifikasi” di Balai Kota Jakarta, Rabu (25/2), mengatakan, penyusupan mata anggaran menjadi modus paling sering dilakukan legislatif-eksekutif di banyak daerah terkait kewenangannya. Mereka berkonspirasi dengan menetapkan anggaran yang berpeluang disimpangkan dalam aneka bentuk pengadaan barang dan jasa.
Adnan menilai polemik yang terjadi antara Pemprov dan DPRD DKI Jakarta tidak lepas dari tarik ulur kepentingan anggaran. Cara mengakhirnya, antara lain, kedua pihak sama-sama membuka draf versi masing-masing dan menjelaskannya ke masyarakat.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan siap membeberkan anggaran-anggaran yang menurut dia tidak relevan dalam draf APBD 2015. Selain tak benar-benar diperlukan masyarakat, pos-pos itu dianggap rawan penyimpangan.
Dia mencontohkan anggaran pengadaan alat cadangan listrik Rp 4,2 miliar untuk setiap kelurahan di Jakarta Barat, anggaran sekitar Rp 4,9 miliar untuk percepatan peningkatan mutu pembelajaran, serta pengadaan alat audio kelas Rp 3 miliar hingga Rp 4,5 miliar.
Menurut Basuki, ada banyak lagi mata anggaran yang dinilai tidak tepat yang dimasukkan baik di dinas pendidikan, kesehatan, maupun instansi lain. Padahal, sejumlah instansi tersebut telah menyatakan tidak memasukkan usulan-usulan itu.
”Idealnya DPRD memakai hak interpelasi sehingga saya bisa menjawab dan menjelaskannya. Namun, biar interpelasi maupun angket, saya siap,” ujarnya.
Angket
DPRD DKI Jakarta menggelar rapat paripurna pada Kamis (26/2) ini untuk meminta persetujuan secara formal penggunaan hak angket tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2015. Hingga Rabu (25/2), dari 106 anggota sudah 100 orang yang menandatangani penggunaan hak angket.
”Enam orang belum memberikan tanda tangan karena persoalan teknis saja,” kata Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPRD DKI Jakarta Jhonny Simanjuntak.
Menurut dia, jumlah tersebut sudah memenuhi syarat untuk pengajuan hak angket. Hak angket sudah bisa diajukan dengan sedikitnya 15 tanda tangan anggota DPRD dan 2 fraksi.
Dalam rapat paripurna Kamis ini, lanjut Jhonny, agenda rapat, antara lain, mendengarkan penjelasan tentang usulan hak angket, mendengarkan pandangan fraksi, dan meminta persetujuan anggota untuk penggunaan hak angket.
”Apabila sudah ada persetujuan formal, nanti akan dibentuk panitia angket yang anggotanya 33 orang dengan model proporsional. Setelah itu, hak angket bisa berjalan,” ujarnya.
Ketua Fraksi PKB DPRD DKI Jakarta Hasbiallah Ilyas mengatakan, fraksinya menolak penggunaan hak angket karena tidak ditemukan adanya kesalahan dalam APBD DKI Jakarta tahun 2015. Menurut dia, lebih tepat apabila Dewan menggunakan hak interpelasi supaya bisa mendapatkan penjelasan lebih gamblang soal APBD.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Selamat Nurdin, mengatakan, Dewan tetap sepakat menggunakan hak angket, bukan interpelasi. Hak angket adalah hak untuk menyelidiki, sedangkan hak interpelasi adalah hak bertanya.
Sejak disahkan dalam rapat paripurna tanggal 27 Januari, sampai saat ini APBD DKI Jakarta tahun 2015 belum ditetapkan. APBD telah disepakati sebesar Rp 73,08 triliun. Namun, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum memberikan persetujuan karena Pemprov DKI Jakarta masih harus melengkapi sejumlah detail teknis.
Gaji belum turun
Pengesahan APBD yang tertunda ini berdampak terhadap pembayaran upah pekerja harian ataupun honorer di Pemprov DKI, seperti petugas kebersihan dan satuan polisi pamong praja.
Setidaknya sudah hampir dua bulan Wawan (40), petugas kebersihan di Jalan Raya Bogor, tidak mendapat upah. ”Saya hanya memperoleh informasi gaji belum bisa turun. Itu saja,” kata Wawan.
Toni, anggota satpol PP di Jakarta Timur, juga belum memperoleh upah Januari dan Februari. Seusai menertibkan pedagang kaki lima, Toni dan sesama anggota satpol PP tak memperoleh jatah konsumsi dari pemerintah. ”Paling hanya dapat minum,” katanya.
Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Wawan dan Toni terpaksa mengutang kepada sanak saudara.
Di Jakarta Barat, upah 164 operator dan pembersih pompa yang dipekerjakan Suku Dinas Tata Air juga terlambat cair.
Kepala Suku Dinas Tata Air Jakarta Barat Henry Dunant mengatakan, pekerja harian lepas (PHL) mengeluh karena gaji terlambat. Gaji para pekerja itu sesuai dengan upah minimum provinsi sebesar Rp 2,7 juta. Jika ditambah dengan bonus lembur, total pendapatan Rp 3 jutaan.
”Mereka sampai SMS ke Gubernur, dikira kami yang menyetop gaji mereka. SMS itu lalu disampaikan kepada Wali Kota dan ke saya,” kata Henry.
Selain gaji PHL, tunjangan kinerja daerah statis dan dinamis untuk pegawai negeri sipil juga tertahan. Saat ini, PNS menerima gaji pokok saja. (DEA/MKN/FRO/MDN)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News