DKI JAKARTA - JAKARTA. Kadar polusi di Ibu Kota Jakarta menjadi salah satu yang tertinggi. Bahkan, data IQAir pada Senin (20/6) pukul 06.00 WIB, kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang berarti sudah masuk ke level sangat tidak sehat (very unhealthy).
Per Selasa (21/6), pukul 06.33 WIB, Jakarta berada di urutan ketiga dalam daftar kota paling berpolusi dengan 154 US AQI, di bawah Beijing (176 US AQI) dan Kuwait (154 US AQI).
Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, tidak membantah jika cuaca turut andil dalam kenaikan kadar polusi udara di Jakarta dalam beberapa hari terakhir, tetapi dia juga menyoroti adanya secondary air pollutants sebagai penyebab utama pencemaran udara.
Baca Juga: Resesi Ekonomi AS Bakal Berdampak Signifikan ke Indonesia
"Satu hal yang sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa polusi udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat dalam beberapa hari ini, bahkan bila kita mengacu pada data resmi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan DLH DKI Jakarta salah satu penyebabnya memang cuaca, tetapi penyebab utamanya adalah masih adanya sumber pencemar udara," tutur Bondan dalam media briefing yang dipantau secara daring, Selasa (21/6)
Sementara itu, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL Fajri Fadhillah menjelaskan bahwa kondisi polusi udara di ibu kota bukan cuma tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga pemerintah pusat.
"Pencemaran udara Jakarta ini permasalahan lintas batas. Kontribusi sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, cukup signifikan terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta. Dalam kondisi seperti ini, Menteri LHK harus menjalankan kewajibannya untuk melakukan pengawasan dan supervisi terhadap ketiga gubernur agar melakukan upaya pengetatan batas emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing," tutur Fajri.
Fajri juga menegaskan, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi tidak lagi perlu saling tuding ataupun berdebat mengenai sumber pencemar udara di Jakarta.
Senada dengan pernyataan Fajri, Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Sirait juga merasa prihatin dengan sikap pemerintah, baik pusat maupun provinsi, yang terkesan lepas tangan terhadap permasalahan polusi udara di ibu kota.
Padahal, September tahun lalu, Koalisi Ibukota memenangi gugatan CLS di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, faktanya, warga ibu kota masih belum bisa menikmati kemenangan tersebut dengan mendapatkan udara bersih.
Baca Juga: Jerman Minta Pasokan Batubara 6 Juta Ton, Ketersediaan Alat Berat Bisa Jadi Kendala
"Hal ini sangat memprihatinkan. Warga menang, tetapi pemerintah (pusat dan daerah) seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan. Pemerintah pusat yang memutuskan untuk banding, seolah-olah menjadi celah bagi pemerintah untuk menunda upaya pengendalian polusi udara di DKI Jakarta,” kata dia.
Lebih lanjut, Jeanny berharap ada gerakan bersama dari masyarakat Jakarta untuk mendesak pemerintah pusat melakukan pengendalian polusi udara di ibu kota dan wilayah sekitarnya.
"Harus ada gerakan bersama dari masyarakat. Tentu saja tidak cukup jika Koalisi IBUKOTA saja yang melakukan, harus ada gerakan bersama dari masyarakat untuk mendesak pengendalian polusi udara di DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya," ucap Jeanny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News