MENCARI KERJA - Fenomena baru Gen Z stare atau tatapan Gen Z saat ini banyak diperbincangkan terutama di media sosial seperti TikTok.
Istilah ini merujuk pada tatapan kosong, datar, dan tanpa ekspresi dalam berbagai situasi sosial.
Meski sebagian orang menganggap ekspresi ini sebagai hal konyol atau tanda acuh tak acuh, para ahli menilai bahwa penilaian semacam itu terlalu dangkal dan justru salah memahami generasi ini.
Mereka percaya bahwa “tatapan Gen Z” mencerminkan sesuatu yang lebih dalam, serius, dan bermakna dibandingkan apa yang tampak di permukaan.
Baca Juga: Harga Tiket Kereta Api Pangrango Naik Mulai 1 Agustus 2025, Cek Tarif Barunya
Apa Itu “Gen Z Stare”?
Melansir dari Forbes, kritikus sering menyederhanakan tatapan ini sebagai tanda bosan, tidak peduli, merasa superior, menghakimi, atau sekadar konyol—bahkan ada yang menyebutnya tatapan maut.
Reputasi Gen Z yang sering dianggap negatif turut memperkuat persepsi keliru ini. Selama ini, Gen Z kerap dilabeli sebagai generasi yang sulit diatur, mudah keluar dari pekerjaan jika tidak sesuai nilai hidup, serta menuntut promosi dalam waktu singkat.
Namun, para ahli melihat fenomena ini sebagai cerminan dari perubahan budaya kerja, perbedaan cara komunikasi lintas generasi, dan kesenjangan antara Gen Z dan budaya kantor konvensional.
Tatapan Kosong atau Ekspresi Komunikasi Baru?
Joe Galvin, Chief Research Officer di Vistage, mengatakan bahwa tatapan kosong ini kerap disalahartikan sebagai sikap tidak tertarik atau menantang.
Ia menyamakan fenomena ini dengan tren seperti “quiet quitting”—bukan sekadar tren viral, tapi gejala yang mencerminkan kesenjangan komunikasi antar generasi di tempat kerja.
Pandemi membuat banyak Gen Z melewatkan pengalaman interaksi sosial langsung di masa pembentukan jati diri mereka. Akibatnya, beberapa dari mereka kesulitan dalam melakukan percakapan ringan atau menjalin interaksi awal dengan orang baru.
Faktanya, ekspresi ini menyerupai reaksi trauma “freeze”—seperti rusa yang membeku saat terkena sorotan lampu kendaraan.
Dalam konteks ini, tatapan kosong bisa dianggap sebagai bentuk “disabilitas sosial” yang lahir dari kurangnya pengalaman sosial tatap muka selama masa perkembangan.
Baca Juga: Bahana TCW Investment Catatkan AUM Rp 72,3 Triliun pada Semester I-2025
Galvin menambahkan bahwa ekspresi tersebut adalah isyarat nonverbal dari generasi digital-native, yang tumbuh dengan layar, konten cepat, dan komunikasi daring.
“Bagi banyak Gen Z, kontak mata terus-menerus tidak selalu berarti perhatian, seperti yang dipahami generasi sebelumnya,” jelasnya dikutip dari Forbes. “Apa yang dianggap ‘tidak terlibat’ oleh manajer Boomer atau Gen X, bisa jadi adalah bentuk mendengarkan aktif versi Gen Z.”
Sujay Saha, Presiden Cortico-X, sependapat. “Gen Z memasuki dunia kerja dalam era layar, jarak sosial, dan komunikasi virtual. Perusahaan harus menutup kesenjangan pengalaman ini dengan proses orientasi yang berfokus pada empati, bukan penghakiman,” ujarnya.
Mengapa Pemimpin Perusahaan Perlu Memahami “Tatapan Gen Z”
Bagi para pemimpin dan manajer, penting untuk menyadari bahwa menyimpulkan perilaku karyawan hanya dari ekspresi wajah bisa merugikan.
Pepatah lama “jangan menilai buku dari sampulnya” berlaku dalam hal ini. “Tatapan Gen Z” hanyalah satu dari sekian banyak kesalahan persepsi terhadap generasi muda, di mana generasi lama sering menarik kesimpulan negatif tanpa dasar.
Galvin menyarankan agar para pemimpin tidak buru-buru menilai. “Apakah anggota tim benar-benar tidak peduli, atau kita yang masih menggunakan standar lama dalam menilai partisipasi?”
Ia menambahkan bahwa penting bagi pemimpin untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung komunikasi lintas gaya dan generasi.
Kesalahan dalam menafsirkan bahasa tubuh atau gaya komunikasi dapat menciptakan kebingungan, frustrasi, bahkan menyebabkan hilangnya kesempatan untuk membangun koneksi antar tim.
Saha menyarankan agar perusahaan melakukan riset observasi: perhatikan bagaimana karyawan Gen Z di restoran cepat saji berinteraksi dengan pelanggan yang juga Gen Z. Dari sana, perusahaan bisa mengetahui bentuk interaksi yang otentik versi mereka, lalu menggunakannya sebagai dasar pengembangan pelatihan dan onboarding.
Ia juga menyarankan agar reputasi negatif Gen Z di dunia kerja mulai diubah. “Daripada menyebut Gen Z tidak punya arah, tidak loyal, atau sulit diajak kerja sama, cobalah melihat bahwa konteks hidup unik mereka bisa mendorong organisasi berkembang ke arah baru.”
Tonton: Pemerintah Indonesia-AS Siapkan Joint Statement Tarif dan Kesepakatan Perdagangan
Bagaimana Perusahaan Dapat Beradaptasi?
- Gen Z mengutamakan keaslian. Mereka hanya mendukung merek dan perusahaan yang sesuai dengan nilai mereka.
- Mereka tidak cocok dengan struktur kerja hierarkis. Perlu model kerja kolaboratif yang memberi mereka rasa kepemilikan atas proses kerja, meski berada di level pemula.
- Gen Z cenderung tidak sabar. Diperlukan model kerja iteratif dan lincah: prototipe, uji, evaluasi, dan ulangi.
- Mereka sangat terpengaruh oleh teman sebaya dan media sosial. Ini bisa dimanfaatkan untuk memperkuat pemasaran digital perusahaan.
Galvin menegaskan bahwa generasi muda lebih berkembang dalam lingkungan kerja yang mengedepankan keaslian, fleksibilitas, transparansi, dan tujuan bersama.
Mereka butuh mentoring, bukan micromanagement, serta menginginkan pekerjaan yang bermakna, bukan sekadar gaji.
Media mungkin mengolok-olok tren ini—seperti halnya tren “hey-hanging” tahun lalu—tapi fenomena yang belum dipahami bukan untuk ditertawakan.
Para ahli sepakat: jika organisasi ingin terus relevan dan kompetitif, mereka tidak bisa lagi mengabaikan, salah menilai, atau menyederhanakan generasi masa depan yang akan mendominasi dunia kerja pada tahun 2030.
Selanjutnya: Zulhas Sebut Koperasi Merah Putih Disebut Jadi Solusi Jangka Panjang Beras Oplos
Menarik Dibaca: East Ventures Rilis Riset Lanskap AI di Kawasan Asia Tenggara, Ini Hasilnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News