LINGKUNGAN HIDUP - JAKARTA. Tinggal di gerbang terdepan muara Sungai Batanghari, adalah warga desa Kampung Laut, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Konon mereka masih keturunan suku Duano yang memiliki tradisi maritim yang unik.
Letak Kampung Laut hanya sekitar 4 kilometer saja dari muara Sungai Berbak, salah satu cabang Sungai Batanghari yang sama-sama bermuara di laut Cina Selatan. Aliran Batanghari dan Berbak berpisah di simpang Berbak.
Jika dilihat dari kejauhan, Kampung Laut seolah menjadi bagian dari Sungai itu sendiri. Rumah-rumah penduduk dibangun di atas tonggak-tonggak kayu yang menyembul dari dalam perairan diantara rerimbunan pohon-pohon bakau. Menjadikannya seolah-olah terlihat terapung.
Tim Ekspedisi Sungai Batanghari dalam rangka Kenduri Swarnabhumi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tiba di Kampung Laut Senin pagi (19/9) setelah menempuh perjalanan dari Dermaga Pelindo 2 Jambi selama kurang lebih 20 menit menyusuri sungai dengan speedboat.
Baca Juga: Prakiraan BMKG Cuaca Hari Ini di Jakarta dan Sekitarnya, Hujan Petir di Wilayah Ini
Di daerah hilir ini, arus sungai sangat kuat dengan warna air yang semakin keruh. Sesekali terlihat kapal tongkang melintas hilir mudik mengangkut batubara. Beberapa kampung dan pemukiman tumbuh di sisi barat sungai. Sementara di sisi timur seberang, hanya tampak jejeran hutan bakau yang memanjang hingga muara.
Tim ekspedisi menaiki 2 speedboat milik masyarakat. Sementara para pejabat menaiki speedboat milik Dinas Perhubungan setempat. Rombongan diiringi oleh sekitar 50 perahu masyarakat. Disambut meriah oleh warga Kampung Laut.
Mayoritas warga Kampung Laut adalah para nelayan dengan hasil tangkapan berupa udang, kerang, ikan asin timang, kepiting dan siput bakau. Sebagian menjadi pedagang dengan menjual sembako, membuka usaha kuliner dan pariwisata, pengepul hasil ikan dan pembuat perlengkapan anak sekolah.
Dengan kondisi pencemaran jaringan Sungai Batanghari yang semakin hari semakin bertambah, warga Kampung Laut merasa cemas. Salah satunya adalah Edi Herianto yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan.
“Ada beberapa ikan yang susah didapat karena sungai tercemar. Masih ada mungkin ikannya, tapi sedikit. Seperti ikan timang ini mulai susah,” jelas Edi dalam keterangan tertulis, Kamis (22/9).
Ia menuturkan, biasanya ikan-ikan tersebut dijualnya seharga Rp 25 ribu rupiah per kilogram. Kepiting bakau dihargai Rp. 20 ribu per kilogram. Kerang Rp. 15 ribu per kilogram. Namun, hasil melaut sehari-hari tidak menentu.
Belum lagi menangkap siput bakau yang sifatnya musiman. Menangkapnya butuh perjuangan melibat rimbunan hutan bakau. Dalam setahun, hanya bisa diambil dua kali dari hutan bakau. Prosesnya lumayan melelahkan.
Edi masih ingat dulunya air Sungai Batanghari masih jernih dan bisa diminum. Rasanya tawar dan bisa langsung dipakai mandi. “Sekarang harus diendapkan dulu, ditampung di tong baru bisa dipakai mandi. Untuk minum tidak bisa, warga disini beli air galon. Dulu masih bisa,” kenang Edi.
Bupati Tanjung Jabung Timur, Romi Hariyanto juga memiliki kekhawatiran yang sama. Ia menginginkan agar ada perbaikan pada kualitas air dan ekologis Sungai Batanghari. Ia berharap, Ekspedisi Sungai Batanghari dan Kenduri Swarnabhumi bisa membangkitkan momentum tersebut.
Baca Juga: Besok, Kementerian PUPR Akan Uji Coba Lalu Lintas Flyover Kopo Bandung
“Saya berharap kegiatan ekspedisi ini bisa membawa kekuatan untuk masyarakat Tanjung Jabung Timur, Saya berharap bisa mengenal siapa diri kami sebenarnya lewat ekspedisi ini. Kami butuh sejarah itu dibuka, bangsa apa kami ini, jati diri kami ini siapa,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, Sungai Batanghari ini berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhannya pesat dan semakin ramai. Namun, hal tersebut tidak sebanding dengan kesejahteraan warga di sekitarnya.
“Sungai batanghari ini ramai tapi nelayan kami merana, karena sungai kami kotor. Kami ingin sungai kami kembali bersih. Kami rindu (Sungai Batanghari yang bersih,Red),” jelasnya.
Ia juga membenarkan bahwa dulunya air Sungai Batanghari bisa diminum.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengungkapkan memang beberapa kegiatan ekonomi bisa mendatangkan keuntungan dalam tempo relatif cepat. Namun seringkali tidak sebanding dengan dampak sosial jangka panjangnya pada masyarakat.
Padahal ada juga nilai ekonomis yang bisa didapatkan tanpa merusak lingkungan. Farid mencontohkan seperti hutan bakau. Dari kajian akademis, jika dikelola dengan baik dan dilestarikan, nilainya bisa mencapai US$ 20 ribu per hektar per tahun.
“Kita punya berapa ribu hektar? Coba bayangkan bagaimana nilai ekonomis yang bisa dihasilkan dari hutan bakau itu. Termasuk di DAS sungai batanghari ini banyak hutan bakau yang harus diperbaiki dan dijaga,” kata Farid.
Ia menambahkan bahwa harus ditemukan jalan tengah bagaimana agar lingkungan tetap lestari. Misalnya dengan menjaga hutan bakau dan mengurangi penambangan liar.
“Tapi memang yang jadi masalahnya, biasanya SDM kita. Pengetahuan dan teknologi. Tapi itu bukan tidak mungkin, bisa! Tapi tentu tidak dalam jangka waktu setahun dua tahun,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News