JAKARTA. Permasalahan draf APBD dinilai bukan penyebab utama para anggota DPRD DKI yang mengajukan hak angket dalam sidang paripurna kemarin. Pengamat politik, Sebastian Salang menilai, pengajuan hak angket atas kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak lebih dari dendam politik saja.
"Persoalannya angket ini merupakan muara dari akumulasi persoalan. Sehingga angket ini lebih kepada dendam politik DPRD ke Ahok yang selama ini tidak mau kompromi," ujar Sebastian, kepada Kompas.com, Jumat (27/2).
Sebastian menekankan, akar permasalahan perseteruan Basuki atau Ahok dengan DPRD DKI adalah soal komunikasi politik. Ada proses komunikasi yang tersumbat antara eksekutif dan legislatif itu.
Sebastian mengatakan hal tersebut sudah terjadi sejak Ahok masih menjabat sebagai wakil gubernur DKI. Setelah Ahok dilantik menjadi gubernur, masalah komunikasi ini mencapai tahap krisis yang semakin hari semakin tidak ada solusi.
Ketika Ahok mengirimkan draf APBD bukan hasil pembahasan dengan DPRD DKI kepada Kemendagri, kata Sebastian, hal ini seakan membuka semua luka. Hal ini dinilai sebagai puncak kemarahan DPRD akan sikap Ahok selama ini. Itulah sebabnya, persoalan APBD bukan menjadi satu-satunya yang dipermasalahkan anggota dewan dalam sidang paripurna kemarin. Masalah sikap Ahok selama ini juga ikut dipersoalkan dalam hak angket.
"Satu sisi, Ahok ingin membangun sistem transparansi. Tapi disisi lain DPRD merasa punya kekuasaan dalam mengesahkan anggaran. Dan keduanya ini dihubungkan dalam hubungan komunikasi yang ekstrim. DPRD ego, Ahok ego. Maka hak angket-lah yang terjadi," ujar Sebastian.
Sebastian mengatakan, hak angket memang hak DPRD DKI untuk menyelidiki penyalahgunaan Undang-undang oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini, pembuat kebijakan ialah Ahok sebagai gubernur. DPRD harus membuktikan penyalahgunaan undang-undang yang dilakukan oleh Ahok. Jika terbukti, Ahok dapat dikenai sanksi administratif atau bahkan pidana. Tetapi kalau tidak terbukti, hak angket akan berhenti begitu saja.
"Tapi itu kalau hak angketnya objektif. Gubernur tidak perlu khawatir," ujar Sebastian.
Namun, Sebastian menilai, hak angket tidak dapat lagi dilakukan secara objektif. Anggota Dewan memiliki dendam yang sudah terpupuk sejak lama. Akibat hubungan yang buruk antara keduanya. Kondisi ini pun tidak hanya berakhir krisis bagi DPRD DKI dan Ahok sendiri. Namun juga menjadi krisis bagi masyarakat Jakarta. Hal ini karena dua pihak yang telah mereka pilih langsung justru sedang sibuk berkonflik.
Hak angket untuk Ahok
Berdasarkan paripurna kemarin, sebanyak 106 anggota DPRD DKI secara bulat mendukung penuh pengajuan hak angket kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Adapun alasan pengajuan hak angket terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2015. Basuki dianggap telah melakukan pelanggaran serius karena tidak mengirimkan Raperda APBD DKI 2015 yang menjadi usulan bersama anggota DPRD dan Pemprov DKI.
Mantan Bupati Belitung Timur itu dianggap melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR/DPR/DPD/DPRD.
Selain itu, Basuki dinilai melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, PP Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD, Peraturan Mendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Mendagri Nomor 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2015, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah. (Jessi Carina)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News