Perusahaan Kelapa Sawit Masuk, Masyarakat Papua Minta Perlindungan Hutan Adat

Jumat, 07 Juni 2024 | 06:55 WIB   Reporter: Noverius Laoli
Perusahaan Kelapa Sawit Masuk, Masyarakat Papua Minta Perlindungan Hutan Adat

ILUSTRASI. Perusahaan Kelapa Sawit Masuk, Masyarakat Papua Minta Perlindungan Hutan Adat


PAPUA -  JAKARTA. Anggota Komisi X DPR, Robert J. Kardinal, mengungkapkan keprihatinannya atas sulitnya masyarakat Papua dalam mencari keadilan atas tanah adat mereka. Banyak warga Papua harus menempuh ribuan kilometer hingga ke Jakarta untuk menuntut hak mereka.

"Saya sebagai wakil dari Papua melihat masyarakat adat di Boven Digoel dan Kabupaten Sorong harus berjuang keras ke Jakarta demi keadilan. Betapa jauh jarak yang harus mereka tempuh," ujar Robert dalam keterangannya,Kamis (6/6)

Pernyataan Robert muncul setelah demonstrasi masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel dan suku Moi dari Kabupaten Sorong di gedung Mahkamah Agung (MA) Jakarta Pusat, pekan lalu. Mereka berharap MA dapat melindungi hutan adat mereka melalui putusan hukum yang adil.

Baca Juga: Pemkab Sorong cabut empat izin usaha perkebunan sawit

Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi tengah menghadapi gugatan terhadap perusahaan sawit asal Jakarta yang menyerobot tanah adat mereka. Kasus ini sudah mencapai tahap kasasi di MA. Suku Awyu menggugat tiga perusahaan sawit: PT Indo Asiana Lestari (IAL), PT Kartika Cipta Pratama, dan PT Megakarya Jaya Raya. Sementara itu, suku Moi menggugat PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) atas lahan seluas 18.160 hektare.

Robert menekankan banyak sengketa hukum antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan terjadi karena tidak melibatkan masyarakat adat. "Semua tanah di Papua ada pemiliknya, yang merupakan masyarakat adat. Hak mereka dilindungi oleh hukum Indonesia dan hukum internasional," tegasnya.

Ia mendesak pemerintah untuk segera bertindak atas sengketa lahan ini. "Jangan hanya melihat substansi hukumnya, tapi juga perhatikan aspek sosial dan politik serta penghargaan terhadap masyarakat adat. Mereka sudah turun-temurun tinggal di sana, tapi tiba-tiba hutan mereka diambil begitu saja," katanya.

Robert berharap sengketa ini menjadi pelajaran agar Pemerintah bertindak sebagai fasilitator antara investor dan masyarakat adat. "Biarkan pemilik tanah dan investor berunding. Pemerintah cukup mengesahkan aturan-aturan dan izin-izin saja," tambahnya.

Baca Juga: Menko Luhut meluncurkan green investment untuk Papua dan Papua Barat

Ia juga telah mengimbau Kaukus Parlemen Papua untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Papua di Jakarta. "Saya sudah mengajak teman-teman DPR-DPD Papua untuk memberikan dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat ini," tambahnya.

Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Papua, John NR Gobai, mengatakan ribuan hektare sawit di Papua sering memicu konflik dengan masyarakat setempat. "Ada yang mendukung, ada yang meminta perusahaan ditutup," ujarnya.

Gobai menyebut penerimaan resmi dari sawit yang disetor ke pemerintah pusat masih sangat kecil dibanding jumlah sawit yang dihasilkan di tanah Papua. "Mungkin kecil karena masuk ke kantong pribadi oknum pejabat," katanya.

Untuk meredam konflik, Gobai mengusulkan agar Pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin untuk kebun sawit baru dan memikirkan kontribusi kebun yang sudah ada kepada masyarakat adat dan daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli

Terbaru