Selain lestarikan lingkungan, penanaman bibit mangrove juga mendorong perekonomian

Jumat, 13 Agustus 2021 | 21:31 WIB   Reporter: Tendi Mahadi
Selain lestarikan lingkungan, penanaman bibit mangrove juga mendorong perekonomian

ILUSTRASI. Sejumlah warga menanam bibit mangrove di Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (23/3/2019). ANTARA FOTO/Arnas Padda/YU/foc.


LINGKUNGAN HIDUP - JAKARTA. Penanaman Bibit Mangrove di Sumatera Utara dilakukan di Desa Alur Cempedak, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat. Di desa ini terdapat tiga kelompok masyarakat pelaksana rehabilitasi mangrove, diantaranya Kelompok Maju Pelawi, Tunas Baru dan Sepakat Berkarya, dengan luasan areal tanam masing-masing sekitar 200 hektare, 195 hektare, dan 200 hektare. 

Tiap kelompok mengerjakan penanaman di titik koordinat yang berbeda. Ketua Kelompok Maju Pelawi, M. Solihin mengatakan program ini dimulai sejak April 2021. Namun, proses penanaman bibit mangrove di bulan Mei 2021. “Kelompok mulai tanam di bulan Mei 2021,” ucap Solihin dalam keterangannya, Jumat (13/8).

Saat ini, kata Solihin, proses penanaman mangrove yang dilaksanakan kelompoknya telah berhasil menanam bibit di areal mangrove seluas 76 hektare. Penanaman akan terus dilakukan, meskipun medannya cukup sulit dan perlu kerja keras mengingat berada di pinggir laut lepas. 

Kelompok, tutur Solihin, sebelumnya telah menggalakkan rehabilitasi mengrove sejak 2019. Kegiatannya masih bersifat persemaian bibit mangrove dan penanamannnya juga dilakukan secara swadaya. 

Baca Juga: KPK resmi tahan eks pejabat Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji

Juga, ujar Solihin dengan bangga, kelompok yang berdiri sejak 2011 itu, telah mengerjakan program penanaman mangrove dari BPDASHL Wampu Sei Ular di akhir tahun 2020 lalu. 

Upaya ini dilakukan untuk menjaga keutuhan ekosistem mangrove. Sebab, di kawasan mangrove tersebut terdapat tambak alam yang menjadi mata pencaharian warga. “Jadi di sini penambak memang ikut terlibat dalam kelompok kami. Malah mereka berharap tambaknya ditanami mangrove,” ujar dia.

Keinginan kuat menanam mangrove ini karena warga belajar dari kesalahan masa lalu. Kala itu, beberapa warga kerap menebangi mangrove untuk pembuatan arang. Warga juga membabat mangrove untuk membuka tambak dengan anggapan bisa meningkatkan hasil tangkapan ikan dan kepiting.

Akibatnya, meski ikan dan kepiting yang dihasilkan dalam setahun melimpah, namun sifatnya jangka pendek, setelah itu populasinya menurun drastis. “Ekosistemnya rusak. Ikan, udang, kepiting hilang. Kita belajar jadinya, mangrove itu memang perlu dijaga kealamiannya,” kata dia.

Baca Juga: NASA bersedia membayar 4 orang yang mau hidup dalam simulasi Mars selama setahun

Untuk tambak yang juga sudah ditanami bibit mangrove, kata Solihin, nelayan bisa dua kali panen, pada saat pasang bulan purnama dan pasang bulan gelap, masing-masing menghasilkan Rp 2 juta dan Rp 1,5 juta.

Sementara untuk panen ikan, penambak bisa panen enam bulan sekali. Ikan yang dihasilkan pun bermacam-macam, misalnya, ikan sembilang, ikan siakap, ikan nila, dan ikan kerapu.

Solihin mengatakan pembibitan mangrove yang dilakukan kelompoknya juga bisa menjadi penghasilan masyarakat. Awalnya, kegiatan persemaian itu diperuntukkan kepada ibu rumah tangga. “Penyemaian terutama dilakukan ketika musim buah,” ucap dia.

Bibit mangrove itu kemudian kerap dijual ke pihak yang membutuhkan, misalnya mahasiswa, pemerintah, dan korporasi. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp 800 hingga Rp 1.800. “Pemesanan sudah sampai luar Sumatera Utara, hingga Aceh,” kata dia.

Selanjutnya: Menparekraf mendorong perempuan menjadi penopang ekonomi kreatif

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi
Terbaru