Siapa sebenarnya Benny Wenda, tokoh yang dituding di balik kerusuhan Papua?

Selasa, 03 September 2019 | 04:15 WIB Sumber: Kompas.com
Siapa sebenarnya Benny Wenda, tokoh yang dituding di balik kerusuhan Papua?


PAPUA - JAKARTA. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut bahwa tokoh separatis Papua Barat, Benny Wenda, merupakan dalang kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Diketahui, demonstrasi berujung aksi anarkistis terjadi di beberapa titik di dua provinsi itu, sebagai respons atas tindakan rasisme oknum TNI dan aktivis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

"Ya jelas toh. Jelas Benny Wenda itu. Dia mobilisasi diplomatik, mobilisasi informasi yang missed, yang enggak benar. Itu yang dia lakukan di Australia, di Inggris," ujar Moeldoko di kantornya, Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (2/9).

Moeldoko menilai, apa yang dilakukan Benny Wenda merupakan strategi politik. Karena itu, pemerintah juga menanganinya secara politis. Akan tetapi, Moeldoko mengatakan, pemerintah saat ini telah menempuh berbagai langkah untuk mengatasi persoalan keamanan di Papua dan Papua Barat.

Dengan demikian, suasana di Tanah Papua diharapkan segera kondusif. Saat diwawancara Majalah Tempo, Benny Wenda mengaku telah mengeluarkan surat edaran yang berisi instruksi agar rakyat Papua tak mengikuti upacara kemerdekaan. Akan tetapi, Benny menyatakan bahwa aksi demonstrasi yang kemudian disertai kerusuhan di Papua dan Papua Barat dianggap sebagai spontanitas masyarakat di sana.

Lalu siapa Benny Wenda? Pria kelahiran Papua pada 17 Agustus 1974 itu kini tinggal di Oxford, Inggris. Puluhan tahun sudah Benny menentang bergabungnya Papua Barat dengan Indonesia dan berupaya menjadikan Papua merdeka.

Benny bergabung dengan Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DMMK), hingga menempati posisi sekretaris jenderal (sekjen).

Dilansir dari BBC, Benny Wenda mendapat suaka pada 2002. Menurut polisi, dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, Benny Wenda kabur ke Inggris setelah diburu pemerintah atas tuduhan berbagai aksi kekerasan pada tahun-tahun sebelumnya.

Segala hal yang ditawarkan Pemerintah Indonesia dalam lobi-lobi saat itu, termasuk otonomi khusus, ditolak mentah-mentah.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

Terbaru