Upaya Petani dan Penyuluh CSA NTB Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Sabtu, 06 April 2024 | 09:29 WIB   Reporter: Noverius Laoli
Upaya Petani dan Penyuluh CSA NTB Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Pengukuran pertama berlangsung pada awal Februari 2024 saat usia padi 30 dan pengukuran kedua dilaksanakan 60 hst. Pengukuran menggunakan chamber atau sungkup, untuk menangkap gas metana([CH4) dan dinitrogen?oksida (N2O).


PERTANIAN -  JAKARTA. Sejumlah petani dan penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Ubung, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat melakukan pengukuran emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Senin (1/4).

Pengukuran dilakukan dengan mengambil sampel tanaman padi yang berumur 92 hari setelah tanam (hst).

Pengukuran pertama dilakukan pada awal Februari 2024 saat usia padi 30 hari, dan pengukuran kedua dilaksanakan pada usia 60 hst. Alat yang digunakan adalah chamber atau sungkup, untuk menangkap gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O).

Pengukuran emisi GRK dilakukan di lahan Demplot Scalling Up yang dikelola oleh kelompok tani (Poktan) Bunut Serempek III di Desa Puyung, Tenggara Barat (NTB).

Baca Juga: Pabrik Baja di AS Garap Proyek Menangkap 50.000 Ton Karbon per Tahun

Upaya ini merupakan bagian dari Pertanian Cerdas Iklim (Climate Smart Agriculture/CSA) untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap pertanian yang ramah lingkungan.

Kegiatan pengambilan sampel bertujuan untuk membandingkan emisi GRK antara perlakuan CSA dan non-CSA, dengan mempertimbangkan hasil pengukuran emisi sebelumnya.

Kementan bersama program Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project (SIMURP) menjalankan program CSA di 24 kabupaten di 10 provinsi, termasuk Kabupaten Lombok Tengah di NTB.

Sampel yang diambil kemudian dikirim ke Badan Pengujian Standar Instrumen (BPSI) Lingkungan Pertanian Pati di Provinsi Jawa Tengah untuk analisis lebih lanjut.

Baca Juga: CCEP Indonesia Menyambut Kunjungan PHRI dalam Misi Keberlanjutan

Pengukuran emisi GRK dilakukan sebagai bagian dari upaya Kementerian Pertanian RI bersama Program Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project (SIMURP) sesuai arahan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan dalam aktivitas pertanian.

Menurut Dedi Nursyamsi, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementan (BPPSDMP), Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK hingga 29% pada 2030 dengan upaya internal, dan hingga 41% dengan dukungan internasional.

Program CSA bertujuan untuk meningkatkan Indeks Pertanaman (IP), produktivitas, dan pendapatan sektor pertanian, serta membangun ketangguhan terhadap Dampak Perubahan Iklim (DPI), serta mengurangi emisi GRK.

Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian BPPSDMP Kementan (Pusluhtan) Bustanul Arifin Caya mengatakan, dibutuhkan aksi mitigasi, dimana setiap aksi harus bertujuan pada penurunan emisi GRK, juga mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas pertanian.

Baca Juga: Daerah Irigasi CSA Lombok Tengah Masuk Target Pompanisasi di NTB

"Sudah ada inovasi teknologi mitigasi GRK yang diterapkan petani seperti menerapkan pengairan berselang, penggunaan bahan organik matang, varietas padi rendah emisi metana paket teknologi CSA." katanya dalam siaran pers, Sabtu (6/4).

Sri Mulyani, Project Manager SIMURP, mencatat bahwa penurunan emisi GRK rata-rata mencapai 37% di lokasi Demplot CSA SIMURP, yang direkomendasikan oleh Balai Penerapan Standar Instrumen (BPSI) Pati.

Pertanian padi sawah merupakan salah satu sumber emisi GRK, terutama gas metana (CH4) yang dilepaskan dari lahan persawahan bergantung pada jenis tanah, kelembaban tanah, suhu, dan varietas padi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli
Terbaru