MRT - JAKARTA. Division Head Corporate Secretary PT Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta Muhamad Kamaluddin menyebutkan, utang Pemerintah Indonesia kepada Jepang untuk pembangunan mass rapid transit (MRT) akan dibayarkan secara bertahap selama 40 tahun.
Tenor pelunasan utang selama 40 tahun dengan masa tenggang atau grace period selama 10 tahun. Itu artinya, Pemerintah Indonesia baru mulai mencicil pinjaman 10 tahun setelah pinjaman itu ditandatangani.
"Sudah masuk dalam cicilan kan untuk 40 tahun pembayarannya dan sebetulnya sekarang belum masuk dalam pembayaran, masih ada grace period selama 10 tahun, baru nanti tahun ke 10 akan mulai pembayaran," kata Kamaluddin, Senin (8/3).
Perjanjian utang itu sudah sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Jepang, khususnya JICA (Japan Internasional Cooperation Agency). "Tidak ada yang namanya keterlambatan pembayaran oleh pemerintah dan MRT Jakarta," kata dia.
Biaya pembangunan MRT
Direktur Keuangan PT MRT Jakarta Tuhiyat menjelaskan awalnya pinjaman yang diajukan pemerintah ke JICA untuk Fase I sebesar 123,36 miliar yen atau Rp 14,2 triliun. Namun dalam prosesnya, terdapat revisi desain guna menambah kemampuan daya tahan gempa, yaitu dari magnitudo 7 menjadi 9.
"Itu (penambahan biaya) yang dinamakan price adjusment dari variatif order karena kontraknya sifatnya design and build. Begitu sambil desain, sambil bangun, di lapangan ada regulasi baru," kata Tuhiyat.
Hal itulah yang akhirnya menyebabkan biaya pembangunan Fase I sepanjang 16 kilometer mencapai Rp 16 triliun. Untuk Fase I, pemerintah Indonesia meminjam 217 miliar yen atau setara Rp 25 triliun.
Di fase II PT MRT Jakarta akan membangun receiving sub station atau gardu induk di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Kendati demikian, biaya yang sebenarnya dibutuhkan untuk pembangunannya sekitar Rp 22,5 triliun.
"Kenapa Rp 25 triliun, karena yang Rp 2,5 triliun ini untuk membiayai kekurangan Fase 1," ujar dia.
Dana pinjaman itu kemudian dibagi dua bebannya, yaitu untuk pemerintah pusat sebesar 51% dan Pemprov DKI sebesar 49%. Bunga yang harus dibayar pemerintah ke JICA pun relatif kecil, yakni hanya 0,01%. Hal itu disebabkan, saat pinjaman ditandatangani, commercial bank interest-nya berkisar antara 3%-4%.
"Karena sifatnya tide loan, itu ada persyaratan. Kata Jepang yaitu kontraktor harus dari kami, pemimpinnya Japan Company, enggak ada yang lain. Nah itu yang namanya tide, tapi itu sudah diambil pemerintah," ungkapnya.
Setelah proyek ini berjalan, kontraktor yang menagih pembayaran akan dikumpulkan seluruh bukti pekerjaannya.Setelah itu, dilakukan proses verifikasi oleh tim gabungan dari MRT, Kementerian Perhubungan dan Pemprov DKI.
Hasil verifikasi tersebut akan dibawa pemerintah pusat untuk kemudian diserahkan ke Pemerintah Jepang melalui JICA."Nanti JICA akan verifikasi lagi, lalu dia akan bayar langsung ke kontraktor. Uangnya enggak ada sama kami," kata Tuhiyat. (Ryana Aryadita Umasugi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News