LARANGAN MEROKOK - BOGOR. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRIDO) meminta Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto untuk mengkaji ulang kebijakan larangan memajang rokok di pasar mini atau minimarket karena berdampak pada menurunnya pendapatan, ini disampaikan dalam audiensi yang berlangsung di Balai Kota, Selasa (21/11).
"Tidak boleh memajang otomatis penjualan kita jadi menurut di minimarket paling besar sekitar 30 persen dampaknya," kata Ketua Departemen Minimarket dan Departemen Store APRIDO Gunawan Indro Baskoro.
Menurut Gunawan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang menjadi landasan Pemerintah Kota Bogor melarang memajang rokok di tempat umum termasuk minimarket di dalamnya tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
Pada pasal 50 ayat 2 yang berbunyi "Larangan kegiatan menjual, mengiklankan, dan mempromosikan Produk Tembakau tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan penjualan produk tembakau di lingkungan kawasan tanpa rokok".
"Dalam aturan tersebut kami (ritel-red) masih bisa memajang," kata Gunawan.
Wali Kota Bogor dalam audiensi tersebut menegaskan komitmen Pemerintah Kota Bogor untuk mengelola kota yang mengendalikan tembakau. Konteks dari aturan tersebut bukan melarang tetapi pengaturan.
"Intinya aturan itu diperkuat, kita (pemkot-red) cukup kuat disini. Tapi apakah bertentangan dengan hukum yang di atasnya perlu dipastikan lagi," kata Bima.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Rubaeah menyebutkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 dibuat dengan berpijak pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang saat itu belum ada peraturan pemerintah di bawahnya, termasuk PP Nomor 109/2012 tersebut.
"Kami juga sudah melakukan dengar pendapat dengan DPRD terkait rencana revisi Perda KTR, justru perda ini makin diperkuat dengan adanya saran dari berbagai lapisan masyarakat, total ada 40 poin tambahan yang akan masuk dalam revisi perda," kata Rubaeah.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Erna Nuraini menegaskan aturan tersebut bukan melarang peritel berjualan rokok, atau menurunkan tempat pajang rokok seperti yang dikeluhkan. Peritel dibolehkan menjual rokok tanpa memajang.
"Tempat penjualan rokoknya cukup ditutup tanpa memajang, atau iklan rokok diganti dengan tulisan di sini menjual rokok," katanya.
Dalam audiensi tersebut Gunawan mewakili 13 anggota APRIDO yang hadir tetap berpijak pada aturan PP Nomor 109/2012 yang mengatur bahwa ritel masih diperbolehkan memajang penjualan rokok.
"Entah ini ada dualisme aturan atau seperti apa, sebagai peritel kami berpatok pada PP 109/2012. Karena display ini kan sangat berpengaruh pada penjualan kami menurun. Rokok kontribusinya 30 persen penjualan di minimarket, cukup besar dibanding supermarket. Mohon pak wali untuk dipertimbangkan, dari segi kesehatan kami peduli," kata Gunawan.
Gunawan menyatakan bahwa pihaknya mau diatur, seperti halnya soal KTP pembeli rokok di bawah usai 18 tahun sudah diberlakukan sejak puluhan tahun. Pihaknya pun setuju Pemkot Bogor memperkuat aturan tersebut dalam revisi Perda KTR. Dan siap untuk mendukung melalui jaringan peritel yang ada.
Menanggapi hal tersebut Bima mengatakan bahwa Pemerintah Kota Bogor tidak mau suatu aturan yang landasan hukumnya tidak kuat. Pihaknya memastikan landasan hukum yang digunakan dalam Perda KTR sama atau tidak dengan peraturan yang ada di atasnya (PP-red) menjadi titik krusial dalam hal payung hukum.
Bima mencoba memastikan bunyi pasal yang ada dalam PP 109/2012 tersebut, yang menyebabkan esensi dari KTR hilang. Karena pemerintah bisa menerapkan KTR tetapi tidak berlaku di tempat yang digunakan untuk kegiatan penjualan produk tembakau di lingkungan kawasan tanpa rokok.
Merujuk pada BAB I Ketentuan Umum PP 109/2012 menjelaskan definisi KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.
"PP inipun tidak jelas sepertinya antara terminologi KTR dengan apa yang diatur di dalamnya," kata Bima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News