JAKARTA.- Badan Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Barat mencatat cadangan beras masyarakat yang ada di lumbung pangan modern yang sebagian besar tersebar di wilayah pedesaan sebanyak 755,41 ton.
"Itu data per Januari 2016. Jumlahnya diperkirakan terus bertambah karena petani pengelola lumbung tersebut terus melakukan pengadaan," kata Sekretaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Nusa Tenggara Barat (NTB) Prihatin Haryono, di Mataram, Senin.
Ia menyebutkan jumlah lumbung pangan modern yang dibangun dari dana alokasi khusus (DAK) Kementerian Pertanian dan APBD Provinsi NTB hingga 2015 sebanyak 122 unit yang tersebar di 10 kabupaten/kota.
"Setiap tahun kami upayakan membangun lumbung pangan baru, baik dari dana pusat maupun APBD," ujarnya.
Pria yang biasa disapa Yon ini mengatakan, selain di lumbung pangan modern, stok cadangan pangan masyarakat dalam bentuk beras juga ada di lumbung pangan tradisional, namun pihaknya tidak melakukan pendataan.
Ada juga cadangan pangan Pemerintah Provinsi NTB sebanyak 156,21 ton dan cadangan pangan 10 pemerintah kabupaten/kota sebanyak 70,93 ton. Seluruhnya berada di gudang Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional NTB.
"Cadangan pangan pemerintah dikeluarkan ketika terjadi bencana alam dan bencana sosial," ujarnya.
Menurut dia, melihat data cadangan pangan masyarakat yang ada di lumbung pangan dan cadangan pangan pemerintah yang ada di gudang Bulog, NTB tidak perlu mendapat pasokan beras yang diimpor oleh pemerintah dari Vietnam.
"Masyarakat NTB, terutama di wilayah pedesaan tidak ada kekurangan pangan. Jadi NTB tidak perlu beras impor," ucap Yon.
Ia mengatakan, setiap lumbung pangan modern bantuan pemerintah dikelola oleh gabungan kelompok tani (gapoktan).
Mereka mendapat dana bantuan sosial untuk stabilisasi harga gabah yang bersumber dari Kementerian Pertanian.
Yon menyebutkan, NTB mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 2 miliar pada 2015 dari Kementerian Pertanian untuk penguatan 100 gapoktan pengelola lumbung pangan modern.
Masing-masing gapoktan penerima bantuan mendapat dana hibah sebesar Rp 20 juta. Dana tersebut wajib dimanfaatkan untuk membeli gabah atau beras, khususnya hasil produksi para anggota kelompok.
"Beras yang dibeli dari anggota kelompok nantinya dipinjamkan lagi kepada anggota kelompok ketika musim paceklik, kemudian diganti lagi dengan beras dalam jumlah melebihi pinjaman sesuai dengan kesepakatan bersama," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News