Cerita Kopi Kadiran dari Sumedang yang harumnya hingga mancanegara

Kamis, 17 Oktober 2019 | 23:56 WIB Sumber: Kompas.com
Cerita Kopi Kadiran dari Sumedang yang harumnya hingga mancanegara

ILUSTRASI. Petani memetik biji kopi arabika di perkebunan kopi Desa Nyalindung, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (15/3). Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) memperkirakan ekspor kopi pada 2018 akan mencapai 420.000 ton hingga 450.000 ton, ata


KOPI - JAKARTA. Shaleh Raspan tertegun. Rasa sakit tetiba menyeruak dalam dadanya, tatkala ia melihat tagihan kopi yang diminumnya.

Rp 70.000, itulah angka yang tertulis dalam tagihannya. Jumlah yang sebenarnya sangat biasa bagi penikmat kopi di kafe-kafe ternama. Namun tidak bagi petani kopi seperti Shaleh.

Harga itu sangat menyiksa, membuatnya sakit hati, mengingat rendahnya harga yang ditawarkan tengkulak pada petani kopi seperti dirinya.

“Harga yang ditawarkan tengkulak Rp 19.000 per kilogram. Sedangkan harga segelas kopi di kafe bisa Rp 20.000-70.000."

"Nyeri hate (sakit hati) bapak melihatnya,” ujar Shaleh kepada Kompas.com di kebunnya, di kawasan Gunung Susuru, Kaduluwung Situraja, Sumedang, Minggu (13/10).

Baca Juga: Gandeng ACR Corp, Raffi Ahmad mendirikan Kokali (Kopi Kaki Lima)

Shaleh menceritakan, harga yang ditawarkan para tengkulak, dan ditentukan para kartel ini tidak sebanding dengan jerih payah para petani.

Para petani membutuhkan waktu empat tahun untuk menyemai, menanam, dan merawat hingga pohonnya berbuah.

Selama itu, mereka kepanasan, kehujanan, disengat binatang, bertemu ular dan babi di hutan, juga terpeleset, dan hidup dalam kemiskinan.

“(Kemiskinan) membuat baju petani compang-camping. Kalau masuk ke kafe, mereka bisa diusir." "Padahal merekalah yang memproduksi kopi specialty di kafe-kafe mahal itu,” tutur Shaleh.

Baca Juga: Pertarungan Pebisnis Ritel di Gerai Coffee Shop

Analoginya sama dengan seorang buruh bangunan yang ketinggalan palu di dalam hotel megah. Saat buruh ini datang ke hotel untuk mengambil palu, ia diusir satpam.

Padahal, buruh inilah yang membangun hotel itu. Rasa sakit hati itu yang kemudian membuat Shaleh menghentikan penjualan kopi dengan harga murah.

Editor: Yudho Winarto

Terbaru