Gempa Aceh setara empat bom Hiroshima

Kamis, 08 Desember 2016 | 10:06 WIB Sumber: Antara
Gempa Aceh setara empat bom Hiroshima


Mitigasi

Sebagai negara yang dikenal dengan sebutan "supermarket bencana", Indonesia perlu mempersiapkan mitigasi infrastruktur guna menghadapi bencana besar, kata peneliti Geotek LIPI Danny Hilman Natawidjaja senelumnya.

"Banyak aspek yang perlu diperhitungkan, tidak hanya jiwa tapi infrastruktur juga diperhitungkan untuk mitigasi bencana".

Sudah ada perhitungan mengenai siklus gempa besar di beberapa lokasi seismic gap atau wilayah zona gempa yang sudah lama tidak mengalami gempa dan menyimpan energi besar sehingga berpotensi menimbulkan gempa besar di Indonesia.

Namun demikian gempa besar yang berpotensi terjadi di seismic gap Selat Sunda dianggap yang paling berbahaya karena bisa berdampak fatal mengingat populasinya sangat besar dan merupakan pusat pemerintahan, dan pusat perekonomian di Jawa.

"Di Jakarta ada satu gedung yang simpan semua cyber data, kalau tiba-tiba ada bencana besar dan semua hilang, apa ada back up nya? Itu baru bicara soal cyber data, belum bicara soal mitigasi untuk manusia-nya," kata Danny.

Ia mengatakan bahwa perlu dipikirkan juga mitigasi infrastruktur untuk menghadapi bencana. "Lihat Singapura dan Malaysia, mereka sudah menyimpan dengan baik cadangan cyber data di bawah tanah, jadi kalau ada gempa atau topan di atas mereka sudah punya cadangannya di bawah."

Ia juga menjelaskan bahwa peneliti telah membuat peta jalur gempa, yang meliputi informasi mengenai lokasi-lokasi rawan gempa yang bisa digunakan untuk menyesuaikan bentuk dan kekuatan bangunan di tiap-tiap lokasi.

Masalahnya peta jalur gempa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut sangat sedikit yang "diterjemahkan" dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam.

"Saya pikir (peta jalur gempa) sudah (dipahami) kalau di kalangan teknis. Tapi kalau harus sampai ke masyarakat harus diubah bahasanya supaya mereka paham, tidak bisa terlalu teknis," ujar Danny.

Persoalan lain yang menurut dia muncul saat membangun infrastruktur mitigasi adalah desain yang tidak sesuai rekomendasi ahli untuk daerah tersebut.

Padahal rekomendasi yang dikeluarkan sudah melalui penelitian panjang yang menghabiskan waktu dan biaya.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan permasalahan bersama yang dihadapi saat ini adalah pengabaian terhadap aspek risiko bencana.

"Perhatikan benar zona merah rawan bencana, penataan ruang dan peta rawan bencana serta regulasinya. Sosialisasi sudah banyak tapi implementasi tidak dilakukan".

Berdasarkan peta bahaya seismik, daerah Pidie Jaya berada di sesar aktif. Namun daerah itu sekarang menjadi zona pemukiman yang berkembang pesat.

"Peta dasar seismic hazard (bahaya seismik) tadi ya harusnya diikuti, jangan malah dibuka perizinan di sana. Tapi kalau terlanjur pemukiman berdiri ya buat lah bangunan yang 'ramah' bencana".

Senada dengan Sutopo, Kepala Basarnas F Henry Bambang Soelistyo mengatakan bahwa mitigasi mesti dijalankan sesuai dengan peta bahaya seismik yang ada.

Pembangunan bangunan yang "ramah" bencana tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, pemerintah daerah mesti berperan mendorong dan mendukung warganya membangun rumah yang tahan gempa.

"Soal mitigasi, kami siap melatih masyarakat dan melakukan tanggap bencana meski itu butuh waktu tidak sebentar karena jumlah masyarakat yang ada di daerah rawan terkena bencana besar sangat besar," ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto

Terbaru