PEKANBARU. Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman menyatakan industri kertas di Provinsi Riau adalah kebanggaan nasional yang akan terus dilindungi oleh pemerintah dari ancaman kekurangan bahan baku, terkait penerapan regulasi perlindungan gambut yang diresahkan oleh pelaku bisnis.
"Pastilah kita lindungi karena ini bukan hanya kebanggaan Riau saja, tapi juga kebanggaan nasional," kata Arsyadjuliandi (Andi) Rachman di Kota Pekanbaru, Selasa (20/6).
Gubernur Riau menyatakan hal itu terkait kegelisahan pelaku bisnis karena pada Februari 2017 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan empat peraturan sebagai petunjuk teknis dari Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Dalam penerapan regulasi turunannya, yakni Peraturan Menteri LHK No.17/2017 tentang pembangunan hutan tanaman industri (HTI), telah mengakibatkan 76 % dari total 526.070 hektare (ha) hutan tanaman industri yang sudah ditanami di Riau, akan berubah menjadi fungsi lindung. Artinya, dari luas tersebut membuat industri kekurangan bahan baku sekitar 9,5 juta meter kubik per tahun.
Andi Rachman mengatakan pemerintah pusat seharusnya tidak mengeluarkan regulasi yang mengancam kelangsungan sektor industri yang sudah berperan besar untuk perekonomian nasional. Apalagi ia mengatakan produk kertas dari Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas, perusahaan yang beroperasi di Riau, telah memasok 60 % kertas untuk pembuatan kitab suci Alquran di dunia.
Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, ekspor kayu dan bubur kayu dari daerah ini sepanjang Januari-April 2017 mencapai 385,92 juta dolar AS. Ini artinya kontribusi ekspor komoditas itu cukup signifikan terhadap total ekspor nonmigas didaerah berjuluk "bumi lancang kuning" ini.
"Lihat tadi produk mereka (APP-Sinar Mas) dijual diberbagai negara termasuk negara Arab Saudi, yang mana umat Islam banyak berkunjung ke sana. Mereka harus tahu Alquran yang dibaca di Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau masjid-masjid lain, bahwa kertas Alquran itu berasal dari indonesia, bahkan dari Riau," ucapnya.
Ia menilai bahwa polemik mengenai regulasi gambut seharusnya tidak mempengaruhi industri kertas, pulp dan hutan tanaman industri di Riau yang merupakan industri andalan dan sudah matang. Meski begitu, ia mengatakan pemerintah pusat melalui lintas kementerian terus membahas masalah tersebut ditingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Tidak ada masalah, kementerian terkait sudah memikirkan hal itu. Kami tunggu saja kepastian dari pemerinah pusat. Yang jelas industri kertas Riau ini kebanggaan daerah dan nasional,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat kunjungan ke Provinsi Riau pada Minggu (18/6), juga menegaskan dirinya tidak menginginkan perusahaan hutan tanaman industri terpaksa impor bahan baku akibat dampak penerapan regulasi perlindungan gambut. Ia menyatakan pasokan bahan baku bagi industri HTI harus dijamin ketersediaannya agar memberikan kepastian usaha.
"Semua komoditi yang diproduksi di sini, pasti diproduksi. Dan kami akan jaga ketersediaan bahan baku itu, pemerintah pasti akan jaga ketersediaan bahan baku," tegasnya.
Mendag mengatakan kebijakan perlindungan gambut diharapkan tidak mengganggu bisnis yang sudah ada, karena dikhawatirkan juga akan berdampak pada neraca perdagangan dan menganggu kinerja ekspor industri di Tanah Air. "Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak diartikan untuk membuat perusahaan itu kesulitan bahan baku. Percayalah, kita akan menjaga lingkungan (secara) beriringan, maka bahan baku itu akan dijaga," tegas Mendag.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau, Muller Tampubolon, mengatakan yang juga membuat keresahan adalah di Peraturan Menteri LHK No.17/2017 tentang pembangunan HTI, kementerian menjanjikan lahan pengganti (land swap).
Namun, hingga kini realisasi "land swap" belum juga ada, sehingga pelaku industri di Provinsi Riau akan menempuh opsi impor bahan baku untuk pabrik pulp dan kertas, untuk mengantisipasi kekurangan bahan baku akibat berkurangnya area tanaman pokok setelah penerapan regulasi baru tersebut.
Ia berharap pemerintah, asosiasi pelaku bisnis HTI dan akademisi bisa kembali duduk bersama mengevaluasi regulasi tersebut agar lebih komprehensif dari sisi lingkungan dan sosial-ekonomi. Kebijakan "land swap" bukan solusi untuk menjaga gambut dari kebakaran karena ketersediaan lahan tidak ada kepastian, bahkan justru menambah beban produksi serta mengurangi tenaga kerja.
Menurut dia, sebanyak 22.000 pekerja disektor HTI di Riau dalam kurun lima tahun ke depan akan terancam kehilangan pekerjaan karena luas area tanaman yang berkurang banyak. Muller mengatakan pada tahun ini diperkirakan ada sekitar 4.000 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Pengurangan tenaga kerja terpaksa dilakukan bertahap karena tidak mungkin perusahaan terus menggaji pekerja yang tidak ada pekerjaannya. Setelah Lebaran ini, kami akan membahas masalah ini dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia dan federasi buruh," kata Muller.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News