PEKANBARU. Pelaku bisnis hutan tanaman industri (HTI) di Provinsi Riau berharap pemerintah mengkaji ulang regulasi ekologi gambut dengan mempertimbangkan banyak aspek sebelum penerapannya, karena industri tersebut terancam kehilangan pasokan bahan baku hingga 9,55 juta meter kubik per tahun sebagai dampak berkurangnya area tanaman pokok.
"Sampai sekarang belum ada kepastian lahan pengganti atau land swap dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau, Muller Tampubolon, kepada Antara di Pekanbaru, Selasa (30/5).
Sebelumnya, pada Februari 2017 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan empat peraturan sebagai petunjuk teknis dari Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
APHI berharap kebijakan lahan pengganti (land swap) seperti yang dijanjikan dalam PermenLHK No.17/2017 tentang Pembanggunan Hutan Tanaman Industri (HTI), dipastikan ketersediaan lahannya.
Namun, Muller mengatakan pemegang izin HTI diminta merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) paling lambat 5 Mei lalu.
Ia mengatakan penerapan regulasi gambut tersebut mengakibatkan 76 % dari total 526.070 hektare (ha) hutan tanaman industri yang sudah ditanami di Riau, akan berubah menjadi fungsi lindung.
Areal hutan tanaman industri (HTI) tersebut hanya bisa panen satu daur saja, dan pemegang izin harus mengembalikannya fungsinya seperti hutan alam sekaligus menanggung biaya pemulihannya.
Menurut dia, kebijakan "land swap" membuat resah pengusaha karena kepastian lahan belum ada yang dikhawatirkan menambah biaya produksi apabila lokasinya jauh dari pabrik. Sebabnya, lahan pengganti yang bisa dipastikan oleh Kementerian LHK hanya seluas 10.360 hektare (Ha) yang ada di Riau.
Padahal, dari 526.070 Ha areal HTI yang sudah ditanami di Riau, akibat regulasi yang baru telah membuat 398.216 Ha atau 76 % telah berubah menjadi fungsi lindung.
"Otomatis jika lahan dikurangi, industri akan kekurangan bahan baku. Padahal pabrik-pabrik membutuhkan pasokan bahan baku secara berkala dan terus menerus," katanya.
Berkurangnya pasokan bahan baku selama lima tahun ke depan yang mencapai sekitar 9,5 juta meter kubik per tahun, juga mengakibatkan produksi pulp dan kertas di Riau akan berkurang 2,12 juta ton per tahun.
Dampaknya terhadap penerimaan ekonomi negara adalah penurunan ekspor 1,48 ton per tahun, yang mengakibatkan kehilangan devisa negara sebesar US$ 594,720 , belum termasuk pajak ekspor dan pajak lainnya.
Sebelumnya, Bupati Kepulauan Meranti Irwan Nasir menyatakan regulasi gambut akan melumpuhkan ekonomi di daerahnya karena hampir 100 % wilayah merupakan lahan gambut. Ia mempertanyakan mengapa regulasi yang awalnya bertujuan mencegah kebakaran lahan justru harus mengorbankan industri yang sudah mapan dan menghasilkan devisa negara.
Irwan mengatakan seluruh wilayah di Kepulauan Meranti merupakan rawa dan lahan gambut yang akan terkena dampak dari regulasi gambut itu. Karena itu, ia meminta agar aturan tersebut tidak diterapkan diseluruh wilayah Indonesia.
"Hampir 100 % wilayah kami itu gambut. Jadi kami mohon kepada pemerintah pusat agar aturan ini tidak dipaksakan di seluruh daerah. Jika diterapkan ekonomi daerah yang memupanyi lahan gambut seperti kami akan terancam," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News