Asal tahu saja, saat ini tingkat konsumsi keramik per-kapita Indonesia masih rendah. Edy menjelaskan, saat ini konsumsi keramik Indonesia hanya 1,8 meter persegi/ kapita. Padahal, mengutip data World Ceramic Tiles Manufacturer Forum, rata-rata konsumsi keramik perkapita dunia berada di level 2,5 meter persegi/kapita. Sedangkan, rata-rata konsumsi negara tetangga di ASEAN di atas 3 meter persegi/kapita.
Tak hanya itu, kebijakan dan stimulus yang dilaksanakan pemerintah untuk mendukung industri keramik Tanah Air, membuat pelaku usaha makin semangat meningkatkan pengembangan bisnis.
"Adanya stimulus PPN dan UU Ciptaker untuk sektor properti juga mendorong pertumbuhan industri keramik. Ditambah dengan kebijakan pemerintah yakni pelarangan pemanfaatan produk impor untuk infrastruktur dan properti," kata Edy.
Kendati sudah mencatatkan perbaikan, Asaki mengungkapkan saat ini belum seluruh industri keramik menikmati insentif gas. Maka dari itu, Edy mengharapkan perhatian khusus dan dukungan dari Kementerian ESDM agar implementasi Kepmen No.89K/2020 mengenai harga gas US$ 6/MMBTU untuk industri keramik di Jawa Timur bisa segera terealisasi secara penuh.
Baca Juga: Asaki yakin industri keramik nasional masih punya prospek positif
"Industri Keramik di Jawa Timur menunggu setahun lebih dan sampai saat ini belum mendapatkan kepastian dari PGN. Industri Keramik di Jatim masih harus membayar sekitar 34% dari total pemakaiannya dengan harga gas lama atau mahal senilai U$ 7,98/MMBTU. Kondisi tersebut membuat Industri keramik di Jatim membayar harga gas lebih mahal sekitar 20% dibanding sesama industri keramik domestik," ujarnya.
Belum kompetitifnya harga keramik di Jawa Timur, diperparah dengan gencarnya gempuran produk impor di mana pada periode Januari hingga Februari 2021 bertumbuh 13% dibanding periode yang sama di tahun lalu. Alhasil, harga produk keramik dari Jawa Timur sulit bersaing dengan sesama pemain lokal dan impor.
Sebelumnya, sejumlah pihak di sektor penyedia energi menilai bahwa pemberian insentif gas untuk tujuh sektor industri berdampak pada berkurang-nya pendapatan serta penerimaan negara dari sektor hulu migas. Oleh karenanya, insentif gas untuk industri ini perlu di-evaluasi kembali.
Edy berpendapat, gas tidak boleh dipandang sebagai pendapatan negara semata. Namun, harus sebagai faktor yang pendorong ekonomi dan memberikan multiplier effect. Dia mencontohkan, Malaysia mensubsidi harga gas dengan tujuan meningkatkan pergerakan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
"Jika wacana untuk review kebijakan gas dalam artian menaikkan kembali harga gas, tentu akan berimbas pada iklim kepastian berusaha dan investasi yang rusak di mata pelaku industri lokal maupun investor asing. Pasalnya, tidak ada kepastian hukum," tegasnya.
Padahal harga gas US$ 6/MMBTU sudah ditetapkan dalam Perpres No 40 tahun 2016 yang baru dijalankan tahun lalu melalui Kepmen ESDM No 89K tahun 2020.
Selanjutnya: Aneka Gas Industri (AGII) jajaki peluang penyediaan gas untuk proyek smelter
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News