Ini Pandangan Islam terhadap Pernikahan Beda Agama Menurut Dosen UM Surabaya

Kamis, 23 Juni 2022 | 15:41 WIB   Penulis: Tiyas Septiana
Ini Pandangan Islam terhadap Pernikahan Beda Agama Menurut Dosen UM Surabaya

ILUSTRASI. Ini Pandangan Islam terhadap Pernikahan Beda Agama Menurut Dosen UM Surabaya. KONTAN/Fransiskus Simbolon


AKAD NIKAH - Jakarta. Beberapa waktu lalu ramai pemberitaan tentang pemberitaan permohonan pencatatan nikah beda agama yang dikabulkan. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap pernikahan beda agama?

Permohonan nikah beda agama tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya melalui Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. 

Hakim PN Surabaya, dalam putusannya, mengabulkan permohonan warga berinisial RA yang beragama Islam dan EDS yang beragama Kristen untuk melangsungkan penikahan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kotamadya Surabaya.

Bersumber dari situs Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, permohonan pencatatan nikah tersebut sebelumnya ditolak oleh Dispendukcapil Kota Surabaya dengan alasan berbeda agama. 

Baca Juga: Cara Lihat Hasil UTBK-SBMPTN 2022 di Pengumuman-sbmptn.ltmpt.ac.id di HP dan Laptop

Pernikahan beda agama menurut UU di Indonesia

Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya Gandung Fajar Panjalu, memberikan tanggapan mengenai pernikahan beda agama yang ramai diperbincangkan etersebut. 

Menurutnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganggap agama sabagai salah satu elemen penting dalam kehidupan. 

Hal ini terbukti dengan hasil survei dari Paw Research Center, dimana Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat religiusitas tinggi dan menjadikan agama sebagai hal yang penting. 

Disebutkan dalam pasal 1 Undang Undang Perkawinan (UUP) Nomor 1 Tahun 1974, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan bekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Dalam UUP yang sama pasal 2 disebutkan “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dari pasal tersebut bisa dilihat bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah haruslah mengikuti aturan agama tentang perkawinan yang dia anut.

Dalam Islam, terdapat hukum perkawinan yang tertuang dalam Buku I Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991.

“Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 40C tentang larangan seorang pria muslim menikahi wanita non-muslim, dan sebaliknya sebagaimana dalam pasal 44,”jelas Gandung seperti dikutip dari situs UM Surabaya.

Pandangan Islam terhadap pernikahan beda agama

Gadung menjelaskan, ada dua alasan mendasar mengapa pernikahan beda agama tidak diterima dalam Islam. Alasan yang pertama adalah bertentangan dengan nash atau dalil dalam Al Qur'an maupun Al Hadist. 

Dalil tentang larangan perkawinan beda agama terdapat pda Q.S Al-Bawarah 221 yang melarang pernikahan dengan pasangan yang musyrik. 

Sementara itu, alasan dibolehkan pernikahan dengan ahli kitab telah direkonstruksi dengan konteks sosio-kultural yang terjadi saat itu sebagai ‘illat hukum kebolehan tersebut misalnya terkait dakwah serta mempertimbangkan jumlah Ummat Islam.

Baca Juga: Cara Cek Pengumuman UTBK-SMPTN 2022 di 32 Link Mirror, Calon Maba Catat!

“Kedua, dikarenakan perkawinan beda agama tidak sesuai dengan tujuan ditetapkannya syariat Islam (Maqashid Syariah). Sebagaimana diketahui, tujuan Maqasid Syariah meliputi lima hal, yakni penjagaan terhadap agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal,” tambahnya.

Gandung menambahkan, pernikahan beda agama bukan hanya bertentangan dengan prinsip penjagaan agama (hifdh al-diin) saja, namun juga bertentangan dengan empat hal lain. 
Hal tersebut dikarenakan permasalahan keluarga dan agama memiliki kompleksitasnya masing-masing yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Contohnya menurut Gadung seperti masalah yang berkaitan dengan penjagaan harta (hifdh al-maal), bahwa perkawinan beda agama akan sangat berdampak terhadap persoalan harta.

“Misalnya terkait pengelolaan harta bersama, pembagian waris, dan sebagainya. Begitu juga dengan persoalan penjagaan keturunan (hifdh al-nasb), bahwa perkawinan beda agama berkaitan dengan status hukum keperdataan anak, nasab anak, perwalian anak, dan sebagainya,”pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tiyas Septiana

Terbaru