JAKARTA. Penggusuran yang terjadi pada 3.809 kepala keluarga warga Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur yang pada Kamis (20/8) mendapatkakan kecaman dari Komite Aksi Perempuan (KAP). KAP menilai Pemerintah provinsi DKI Jakarta bersikap arogan dan tak mau mendengarkan suara warga.
Penggusuran yang mengakibatkan bentrokan antara warga dan aparat ini juga menyebabkan kerugian yang harus dialami warga. Warga masyarakat Kampung Pulo kembali harus melihat rumah mereka diluluh-lantakkan begitu saja. Padahal warga telah tinggal disana berpuluh tahun lamanya. Mereka sudah hidup dari tahun 1930, sejak orangtua dan keluarga mereka pertama hidup dan berasal.
“Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tak memperhatikan efek psikologis warga Kampung Pulo: mempertontonkan kekerasan dan membuat warga tak mempunyai harapan. Rumah warga habis rata dengan tanah dan mereka harus beradaptasi berpindah ke tempat yang baru,” Ujar Thien Koesna dari Pelangi Mahardhika, dalam keterangan resmi, Minggu (23/8).
Thien melihat bahwa penggusuran bukanlah merupakan contoh yang tepat dalam memindahkan warga. Karena sebelumnya warga masyarakat juga mengusulkan untuk dibangunnya kampung susun berbasiskan komunitas sebagai situs budaya keanekaragaman warga jakarta di lokasi Kampung Pulo, Ciliwung dan sekitarnya. Namun pemerintah ingkar, dan tak mau memperhatikan tuntutan warga.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta sebelumnya berjanji akan menata kembali kawasan Kampung Pulo dan sekitar Ciliwung. Janji untuk mewujudkan Jakarta baru sebagaimana slogan yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Namun, nyatanya di saat yang sama Gubernur DKI Jakarta telah menggusur dan bekerjasama dengan developer-developer besar untuk meluluhlantakkan kampung.
“Kami melihat bahwa akar dari persoalan ini adalah penguasaan pemerintah atas lahan warga miskin yang tak menyelesaikan persoalan warga miskin di Jakarta,” ujar Tyas Wiandani dari JALA PRT dalam kesempatan yang sama.
Tyas melihat perempuan dan anak-anak adalah korban nyata dari penggusuran ini. Padahal mereka adalah masyarakat yang turut berpartisipasi membangun Jakarta baru, namun partisipasi mereka sebagaimana mereka membangun kali Ciliwung selama ini, tak juga didengarkan.
Pemerintah, menurut Tyas, tak hanya melanggar hak Sosial, Budaya namun juga hak ekonomi (Ekosob) Warga. Di tempat yang baru, warga harus menyewa rumah susun dengan harga Rp 300 ribu per bulannya. Warga adalah ibu rumah tangga, buruh, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan kaum miskin kota yang banyak bekerja secara serabutan. Pendapatan mereka tidak menentu. Menurutnya, jika mereka harus mengeluarkan uang sewa setiap bulannya, artinya pemerintah tak memperhatikan kondisi ekonomi warga.
"Setelah dicerabut dari tempat tinggal, kini warga harus membayar uang sewa Rusun yang tak sedikit jumlahnya. Apakah ini Jakarta baru yang dijanjikan?," ujar Tyas.
Ellin Rosana dari Institut Perempuan memaparkan temuan studi yang dilakukan Pelapor Khusus PBB untuk Rumah Layak, Miloon Kothari pada tahun 2005 menemukan, bahwa penggusuran paksa sering memiliki dampak yang besar pada perempuan. Para perempuan korban penggusuran akan mengalami kekerasan berbasis gender. Hal ini telah terlihat dari kekerasan yang diperlihatkan aparat yang membawa dampak psikologis yang besar bagi perempuan.
"Oleh sebab itu kami menolak segala bentuk penggusuran, karena penggusuran selalu dilakukan tanpa mendengarkan suara warga masyarakat dan berujung pada kekerasan. Kedua, Menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengembalikan seluruh hak warga terutama perempuan dan anak-anak yang tercerabut akibat penggusuran paksa. Terakhir, menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memenuhi kebutuhan psikologis, ekonomi, sosial dan budaya warga Kampung Pulo," kata Ellin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News