DKI JAKARTA - JAKARTA. Kawasan Jakarta Utara terancam semakin tenggelam. Akhir pekan lalu, sejumlah kawasan seperti perumahan Pantai Mutiara dan pelabuhan Sunda kelapa terendam banjir rob yang cukup tinggi.
Buruknya drainase, rembesan tanggul dan terbengkalainya rencana pembangunan tanggul fase A oleh Pemprov DKI Jakarta dinilai sebagai penyebabnya. Sehingga ketika terjadi pasang air laut, air langsung masuk ke pemukiman dan pelabuhan.
Selama Kamis - Sabtu pekan lalu, yang bertepatan dengan bulan purnama, banjir rob paling parah terjadi di malam hari. Namun di sejumlah wilayah pemukiman, air juga tak surut lantaran debit air dari laut yang terus menggalir.
Baca Juga: Banjir rob kembali datang, warga Ancol Jakarta Utara bersiap-siap
Ahli Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, banjir rob yang menggenangi sejumlah kawasan di Jakarta Utara menandakan bahwa posisi tanah di lokasi itu sudah semakin rendah daripada lautan. Jika kondisi itu terus dibiarkan, maka kawasan Jakarta Utara akan semakin cepat tenggelam.
"Sebenarnya kan sudah ada rencana untuk membangun tanggul fase A untuk mengatasi ancaman rob dan penurunan muka tanah di Jakarta Utara. Selama itu belum dijalankan tentu akan sulit menahan banjir. Karena sifat air itu mencari celah, mencari ruang. Kalau tidak ada tanggul, maka air itu akan melimpas,” kata Yayat dalam keterangannya, Rabu (10/6).
Yayat menambahkan, banjir rob sangat merugikan masyarakat dan pelaku usaha. Apalagi kejadian ini terus berulang setiap bulan dan semakin tinggi. Dampaknya, kawasan Jakarta Utara menjadi tidak menarik untuk investasi. Sehingga aktivitas ekonomi juga ikut terdampak.
" Jika tidak segera ditangani yang rugi ya masyarakat. Siapa juga yang mau investasi jika daerahnya terancam banjir dan tenggelam," tambahnya.
Dalam upaya mengantisipasi penurunan muka tanah Jakarta dan ancaman banjir rob, Pemerintah sejatinya sudah memiliki konsep dengan menyiapkan masterplan Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Proyek NCICD ini melibatkan kerja sama tiga negara, yaitu Pemerintah Indonesia, Belanda, dan Korea Selatan.
Sesuai NCICD, prioritas pembangunan tanggul adalah fase A sepanjang 20,1 km yang merupakan area kritis. Pelaksana proyek terbagi: Kementerian PUPR 4,5 km, Pemprov DKI 11,5 km, dan pihak swasta 15,5 km. Keterlibatan swasta ini merupakan bagian dari kompensasi pembangunan kawasan reklamasi di teluk Jakarta.
Kementerian PUPR sendiri telah selesai membangun 4,5 km di 2018, Pemprov DKI 2,7 km, dan swasta 2,1 km. Sebagian tanggul yang telah dibangun swasta ini berada di kawasan GreenBay dan PLTGU Muara Karang. Sehingga dampak banjir rob pekan lalu di kawasan ini sangat kecil.
Menurut Yayat, pemprov DKI harus punya solusi untuk mengatasi ancaman air laut ini. Jika memang mengalami kendala terkait pembiayaan tentu bisa melibatkan swasta. Hanya memang pelibatan swasta ini juga membutuhkan kepastian dari sisi benefit yang akan diperoleh swasta.
"Melibatkan swasta dalam membangun tanggul fase A adalah salah satu solusi untuk menyelamatkan Jakarta Utara dari ancaman banjir rob yang semakin besar. Tapi pemerintah juga harus bisa menjamin kepastian terhadap kompensasi yang akan diperoleh swasta," ujarnya.
Baca Juga: Peringatan dini BMKG: Waspada, rob di pesisir Utara Jakarta dan Jawa
Saat ini pembangunan tanggul fase A ini praktis terhenti. Apalagi pihak swasta juga tidak melanjutkan proyek ini akibat tidak adanya ketidakpastian pembangunan proyek reklamasi.
Yayat juga bilang, untuk mengurangi risiko bencana di Utara Jakarta, pemerintah DKI juga harus disiplin menjalankan ketentuan zonasi tata ruang yang sudah dibuat. Seperti penetapan zona merah, zona kuning dan zona hijau.
"Pada akhirnya Pemprov Jakarta yang punya tanggungjawab menyelesaikan tanggul fase A ini. Semakin lama bahkan jika gagal terbangun, masyarakat dan pelaku usaha yang merugi. Termasuk juga para nelayan," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News