TIKTOK - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sedang menggodok rencana revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Revisi aturan tersebut kini sudah masuk tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhunham). Salah satu poin baru yang akan diatur adalah membedakan perizinan antara platform e-commerce dan social commerce.
"Nanti e-commerce dengan social-commerce izinnya mesti berbeda. Jadi, kalau ada media sosial, terus ada komersialnya juga, itu izinnya akan berbeda. Izinnya harus ada dua." kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dilansir dari Antara, Sabtu (5/8).
Mendag mengatakan, revisi Permendag tersebut saat ini sedang dikejar. Saat ini, Tiktok sebagai social commerce tengah gencar mengembangkan bisnis perdagangannya lewat program yang diberi nama Project S.
Istilah harmonisasi ini dapat diartikan sebagai proses atau upaya untuk menyelaraskan, menyerasikan, atau menyesuaikan sesuatu yang dianggap tidak atau kurang sesuai, termasuk dalam sebuah peraturan kementerian.
Baca Juga: Mendag Ungkap Revisi Permendag No 50 Masuk Tahap Harmonisasi, Ini Kata Asosiasi UMKM
Selain itu, kata dia, poin penting dalam revisi Permendag ini adalah menegaskan bahwa seluruh platform belanja online tidak diperbolehkan menjadi produsen dalam produk apapun. "Tidak boleh jadi produsen. Misalnya, TikTok bikin celana dengan merek yang sama, itu tidak bisa," ujarnya.
Seperti diketahui, Project S Tiktok ini merupakan sebuah langkah strategis perusahaan terknologi itu untuk memperkuat bisnis ritel. Tiktok akan memanfaatkan data analytic yang dimiliki platform media sosialnya mengenai barang-barang yang laris. Data itu akan dipakai sebagai rujukan untuk menproduksi produk sendiri di China untuk dijual di negara-negara lain yang dimana Tiktok beroperasi.
Strategi Tiktok tersebut dikhawatirkan berpotensi memastikan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di dalam negeri. Pasalnya, barang impor akan semakin marak yang akan dijual dengan harga murah. Sehingga UMKM lokal akan kalah bersaing dari sisi harga.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Moga Simatupang menyampaikan, esensi dari revisi Permendag itu adalah untuk meningkatkan daya saing produk UMKM sekaligus pencegahan praktik perdagangan tidak sehat pada pasar e-commerce.
Ia bilang, beberapa usulan pengaturan yang diatur dalam penyempurnaan Permendag itu, antara lain pengaturan perdagangan melalui media sosial (social commerce) dan transaksi lintas negara.
"Penyempurnaan kebijakan tersebut diharap dapat menciptakan keadilan perlakuan antara pelaku usaha dalam negeri dengan luar negeri serta pelaku usaha formal dengan informal." kata dia pada Kontan.co.id, Kamis (20/7).
Baca Juga: Regulasi Indonesia Masih Gagap Menghadapi Pedagang Masa Kini
Sementara itu, Staf khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pembedayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari mengatakan, sebetulnya tidak sulit menemukan produk-produk yang dijual di TikTok Shop yang melakukan perdagangan cross border saat ini, meski pihak Tiktok mengklaim tidak menerapkan cross border.
"Faktanya, harga-harga yang ada di TikTok Shop saat ini adalah harga produk impor. Ini yang kita sebut predatory pricing. Bagaimana tidak, harga parfum dijual Rp20 ribu, Rp3 0 ribu. T-shirt juga gitu. Kemudian ada sandal," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan saat ini Tiktok mendefinisikan diri sebagai social-commerce. Bukan hanya sebagai media sosial, TikTok adalah platform yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang (merchant) dapat mempromosikan penawaran barang dan/atau jasa sampai dengan melakukan transaksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News