MRT - JAKARTA. Tak semua pihak ketiban pulung setelah beroperasinya moda raya terpadu (MRT) di Jakarta. Salah satu kalangan yang tergilas oleh beroperasinya MRT ialah para pedagang kaki lima.
Kompas.com menemui sejumlah pedagang kaki lima yang tergusur dari area sekitar Stasiun MRT Lebak Bulus pada Senin (8/4).
Stasiun Lebak Bulus merupakan stasiun akhir yang menjadi salah satu simpul keramaian penumpang MRT. Para pedagang mengaku kehilangan keran pemasukan secara signifikan. Pasalnya, mereka tak lagi leluasa berdagang sejak pagi di sekitar area stasiun.
Satuan polisi pamong praja (satpol PP) sudah berjaga dari pukul 06.00 hingga pukul 18.00. "Sejak ada MRT, saya malah makin blangsak!" ucap Yanto (54), salah seorang pedagang, kesal.
Sebelum MRT beroperasi, Yanto saban hari berdagang mi ayam dan minuman di area yang kini telah menjadi stasiun itu. Ketika rel layang MRT sudah jadi pun, ia masih sempat berdagang di kolong rel layang.
Saat itu, ia mengklaim sanggup membawa pulang uang lebih dari Rp 1,5 juta sehari. "Sekarang, kami cuma bisa bawa pulang sejuta, Rp 700.000. Sisanya? Nol! Impas sama modal," ucapnya dengan nada tinggi.
"Dulu saya dagang dari pagi. Itu baru namanya usaha. Jam 07.00 kami datang, jam 12.00 istirahat, malam sudah kelar," ujarnya.
Yanto berkisah, dia sudah berdagang mi ayam selama 20 tahun lebih sejak kawasan Lebak Bulus masih padat oleh bus yang berjejalan di terminal. Yanto menilai, langkah pengusiran pedagang kaki lima sama sekali tak mengindahkan keberadaan mereka sebagai kalangan yang tak berdaya0.
"Kami juga mau kerja kantoran, pegawai, tapi kami sadar juga kami bukan orang (ber-)pendidikan. Mau gimana lagi?" ujarnya. Ia merasa, mestinya para pengambil kebijakan dapat melakukan langkah yang lebih arif.
"Kami enggak apa-apa dipindahin, tapi dikasih tempat, khusus pedagang, gitu. Kami juga mau bayar, duitnya nanti biar diputar pemerintah atau gimana, tapi kami dikasih tempat, enggak diusir begini," kata Yanto masih dengan suara tinggi. Hal serupa terjadi pada seorang pedagang minuman, Budi (49).
Sebelum MRT beroperasi, ia bisa berjualan di dekat Stasiun Lebak Bulus pada petang hari, sesuatu yang kini mustahil ia lakukan. "Dulu, jam empat sudah bisa mulai jualan," ucapnya.
"Sekarang boro-boro. Mau jualan malam aja mesti ambil (tempat) jauh-jauh, jaga-jaga kalau ketahuan kamtib," kata Budi sesekali menghela rokoknya.
Imbasnya, pendapatan Budi yang biasanya Rp 400.000-Rp 500.000 sehari menukik seiring berubahnya tempat dan waktu berdagang.
"Jualan sampai pagi, sekarang mah, yah, gimana? Anak masih SD, ini juga enggak tahu lanjut sekolah (atau) enggak," tutur Budi yang mengaku kini hanya sanggup mengantongi setengah pendapatan dari biasanya.
Ia mengatakan hal itu terjadi karena raibnya kesempatan meraup pundi-pundi pada jam pulang kerja sore hari yang notabene ramai pembeli.
Sekarang, ia terpaksa berdagang hingga subuh, mengambil lokasi agak jauh dari stasiun, berharap dari penumpang bus-bus malam yang membawa penumpang dari luar kota ke Lebak Bulus.
Budi mengatakan, bukan hanya pedagang mangkal di tepi jalan yang diusir. "Yang ngasong saja diusir, pakai sepeda juga diusir," kata pria rantau asal Tapanuli tersebut.
Setali tiga uang dengan Yanto dan Budi, Fitri (48) yang datang berjualan minuman bersama putranya juga mengeluhkan sama. Saat ditemui, putranya sedang tidak bersama Fitri. Fitri berkata, putranya sedang mengasongkan beberapa botol minuman di lampu merah.
Sementara dirinya tetap di gerobaknya yang terletak di tempat yang kurang strategis. Lapak Fitri jauh dari keramaian dan hanya mengandalkan sorot lampu kendaraan agar dikenali dari jauh.