ISU PERUBAHAN IKLIM - JAKARTA. Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan kajian dasbor pembiayaan pembangkit listrik di Indonesia. Dasbor interaktif ini memetakan seluruh investasi untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) versus bahan bakar fosil di Indonesia, serta pendanaan yang mengalir melalui PLN.
Tiza Mafira, Direktur CPI Indonesia mengatakan bahwa dasbor tersebut menjawab permasalahan akses dan transparansi data investasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Dihadirkan dengan fitur interaktif, dasbor ini memudahkan dalam melihat arus investasi berdasarkan sumber, penggunaan tematik, dan alokasi sektoral.
“Dengan fitur interaktif itu maka pemangku kepentingan pemerintah dan industri terkait dapat mengidentifikasi titik masuk investasi, kesenjangan pembiayaan, peluang investasi baru, serta perencanaan strategis terkait agenda transisi energi Indonesia menuju emisi nol bersih,” kata Tiza dalam keterangannya, Sabtu (23/11).
Hasil kajian tersebut menemukan bahwa rata-rata investasi EBT per tahun (2019 – 2021) mencapai US$ 2,2 miliar, terpaut jauh dari kebutuhan pendanaan sebesar US$ 9,1 miliar per tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai target iklim Indonesia seperti tercantum pada dokumen ENDC Indonesia.
Baca Juga: PLN Siap Dukung Rencana Pemerintah Bangun 100 GW Pembangkit EBT
Kedua, investasi yang mengalir ke EBT juga masih jauh lebih rendah dibanding rata-rata investasi untuk bahan bakar fosil sebesar US$ 3,7 miliar per tahun. Ketiga, sebanyak 94% pendanaan bahan bakar fosil berasal dari investor swasta, di mana 84% asing dan 10% lokal. “Ini menunjukkan tren mengkhawatirkan lonjakan investasi fosil dari swasta, terutama modal asing,” ujar Tiza.
Keempat, biaya operasional (di luar biaya depresiasi) pembangkit istrik berbahan bakar fosil di PLN per unit produksi cukup tinggi, di mana diesel mencapai Rp 2.211 per Kwh, gas Rp 1.402 per Kwh, dan batu bara Rp 526 per Kwh.
Kelima, biaya operasional per unit produksi portfolio PLN (di luar biaya depresiasi) untuk EBT relatif lebih rendah, antara lain panas bumi sebesar Rp 924 per Kwh, air sebesar Rp 104 per Kwh, dan tenaga surya Rp 1.347 per Kwh).
Keenam, simulasi biaya operasional per unit produksi PLTU batu bara tanpa kebijakan subsidi DMO menghasilkan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi, yaitu sebesar Rp 1.013 per Kwh
Ketujuh, PLN berpeluang menurunkan biaya operasional per unit produksi tenaga surya menjadi Rp 296 per Kwh dengan meningkatkan faktor kapasitas pembangkit tenaga suryanya menjadi empat kali lebih tinggi, sehingga setara dengan rata-rata faktor kapasitas pembangkit tenaga surya di Asia Tenggara.
Baca Juga: Instrumen Ritel Pembiayaan Hijau
Meskipun ada gap yang signifikan antara realisasi nilai investasi EBT dan komitmen iklim Indonesia, kata Tiza, temuan kunci tersebut juga menunjukkan peluang strategis mengalihkan arus investasi menuju perekonomian berkelanjutan dan rendah karbon bagi Indonesia.
Tiza mengatakan, Indonesia memerlukan visibilitas mengenai apakah kebijakan energi saat ini sudah cukup mempercepat investasi hijau. Data menunjukkan bahwa total investasi pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil hampir dua kali lipat dari total investasi pada pembangkit listrik EBT.
Ada peluang yang sangat besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan arus investasi tersebut, terutama dari lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar. “Dengan memanfaatkan data investasi yang komprehensif di dasbor kami, kebijakan dan investasi dapat dioptimalkan untuk membangun masa depan yang aman, kompetitif, dan rendah karbon bagi Indonesia,” pungkas Tiza.
Selanjutnya: Cek Rekomendasi Saham Emiten Otomotif yang Tersengat Insentif Kendaraan Listrik
Menarik Dibaca: Apa Itu Algoritma? Kenali Cara Kerja Algoritma Sosial Media di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News