JEMBRANA. Nelayan kecil di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali rata-rata terjerat rentenir, karena terpaksa harus mencari pinjaman yang mudah meskipun dengan bunga tinggi.
"Kami tidak tahu apakah rentenir atau bukan, yang jelas untuk mendapatkan pinjaman tanpa ada jaminan barang. Namun karena cicilan dilakukan setiap hari, kami menyebutnya bank harian," kata Misna, salah seorang istri nelayan di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Jembrana, Senin (23/2).
Ia mengatakan, untuk mendapatkan pinjaman tersebut, cukup menyerahkan KTP asli yang akan dikembalikan bersamaan dengan penyerahan uang pinjaman, beberapa hari kemudian.
Menurutnya, rata-rata nelayan tetangganya meminjam Rp 100.000 hingga Rp 1 juta, dengan lama mengangsur maksimal 40 hari.
Dia menyebutkan, untuk pinjaman Rp 100.000, ada potongan Rp 20.000 sehingga hanya menerima Rp 80.000, dan jika pinjaman sampai Rp 1 juta, jumlah potongannya bisa mencapai Rp 200.000.
Hasil penelusuran di lapangan, selain potongan yang cukup besar tersebut, nelayan juga dikenai bunga sampai 20%, dengan batas pelunasan 40 hari.
Jika dalam waktu 40 hari, cicilan belum lunas, petugas lapangan dari rentenir memberikan jalan keluar lewat pinjaman baru. Alhasil, nelayan kembali terjerat pinjaman dan harus kembali mengangsurnya dari awal.
"Umpama pinjaman kami Rp 1 juta, ternyata dalam 40 hari baru mencapai Rp 600.000, petugas yang memungut cicilan akan memberikan pinjaman yang sama untuk menutupi kekurangan, dan jika ada sisa dari kekurangan pembayaran akan diserahkan kepada nelayan. Namun karena dianggap pinjaman baru, kembali kena potongan," kata Samsuri, nelayan lainnya.
Misna maupun Samsuri menuturkan, pola pinjaman ini sudah dijalani nelayan setempat selama bertahun-tahun, dengan alasan rentenir memberikan pinjaman tanpa syarat administrasi yang bertele-tele.
Meskipun mengakui cukup berat membayar cicilan harian, apalagi untuk pinjaman Rp1 juta yang jumlah cicilannya mencapai Rp40 ribu per hari, mereka mengaku tidak bisa terhindar dari jerat rentenir ini apalagi saat terdesak kebutuhan mendadak.
Muhammad Sauki, salah seorang putra Desa Pengambengan yang saat ini menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta dan intens mengikuti perkembangan desanya mengatakan, sulit untuk memberantas praktik rentenir ini, karena nelayan hanya berpikir mencari kemudahan pinjaman.
"Banyak juga yang mengaku sebagai koperasi, tapi pola pinjaman maupun bunganya sama dengan rentenir. Karena kurang paham, nelayan menganggap mereka menolong karena memberikan pinjaman yang mudah, padahal sebenarnya bunganya tinggi," katanya lagi.
Melihat kondisi ini, menurutnya, pemerintah setempat sebenarnya bisa ikut berperan, dengan mendorong berdiri koperasi di desa-desa nelayan dengan pelayanan yang mudah.
"Mengurusi nelayan itu yang penting sederhana dan mereka pahami. Bisa saja pola pinjaman bank harian itu diadopsi, namun dengan bunga yang rendah dan tanpa potongan saat penyerahan uang," ujarnya pula.
Kepala Dinas Kelautan, Perikanan Dan Kehutanan Jembrana, Made Dwi Maharimbawa saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya belum pernah melakukan kajian terkait jeratan rentenir di kalangan nelayan di daerahnya itu. (Gembong Ismadi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News