Pakar Hukum: Aturan Produk Tembakau Seharusnya Keluar Dari RPP UU Kesehatan

Selasa, 10 Oktober 2023 | 10:31 WIB   Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk
Pakar Hukum: Aturan Produk Tembakau Seharusnya Keluar Dari RPP UU Kesehatan

ILUSTRASI. Pedagang menunjukan produk rokok yang dijual di kios di kawasan MH. Thamrin, Jakarta, Kamis (10/12/2020). KONTAN/Fransiskus Simbolon


KESEHATAN - JAKARTA. Sejumlah pihak tengah menyoroti Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sedang disusun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

Aturan terkait produk tembakau dinilai seharusnya tidak dijadikan satu dengan RPP UU Kesehatan tersebut, melainkan terpisah secara mandiri. 
 
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Ali Ridho, mengatakan bunyi pasal 152 pada UU Kesehatan sudah secara jelas memerintahkan bahwa produk tembakau harus memiliki aturan turunan terpisah atau mandiri. Sebab, bunyi pasal itu menggunakan frasa “diatur dengan” yang memiliki konsekuensi hukum berbeda dengan frasa “diatur dalam”.
 
Bunyi pasal 152 dimaksud pada ayat 1 adalah ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif, berupa produk tembakau, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada ayat 2 berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif, berupa rokok elektronik, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
”Berpijak pada dasar hukum tersebut, seharusnya aturan turunan Pasal 152 UU No. 17/2023 harus diatur dalam PP tersendiri, bukan digabung dalam satu PP yang mengatur banyak materi muatan,” ujar Ali dalam keterangannya dikutip Selas a (10/10).

Baca Juga: Pengusaha Keberatan Aturan Produk Tembakau Dijadikan Satu dengan RPP UU Kesehatan

Hal itu, ia sampaikan  saat sesi Public Hearing penyusunan RPP Kesehatan tentang Zat Adiktif. Menurutnya, frasa "diatur dengan" memiliki konsekuensi harus diatur dalam jenis Peraturan Perundang-Undangan (PUU) tersendiri, terpisah, dan mandiri dari muatan PUU yang lain. Contohnya adalah Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang melahirkan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
Selain itu, penjelasan terhadap penggunaan frasa “diatur dengan” secara implisit dijelaskan pada angka 201 Lampiran II UU No. 12 tahun 2011 jo. UU No. 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
 
Begitu juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Dalam putusan ini terdapat sejumlah pertimbangan hukum dari hakim konstitusi terkait fungsi dan konsekuensi penggunaan frasa “diatur dengan”. 

Selain aspek hukum, Ali juga mempertimbangkan landasan sosiologis tentang sebaiknya peraturan produk tembakau keluar dari RPP Kesehatan. Sebab polemik ini menyasar banyak entitas dari hulu sampai hilir.
 
”Beberapa lingkup yang menjadi objek atau terdampak dari pengaturan tersebut antara lain sektor petani tembakau, sektor produsen tembakau, sektor industri periklanan, dan sektor ritel,” ungkapnya, memaparkan banyaknya sektor sekaligus tenaga kerja yang terdampak dari aturan ini.

Baca Juga: Gapero Minta Jokowi Pisahkan Pembahasan RPP Produk Tembakau dari UU Kesehatan
 
Melihat luasnya objek yang terdampak dari aturan tersebut, Ali menegaskan, menjadi logis jika pengaturannya diakomodir dalam satu peraturan pemerintah tersendiri sehingga akan lebih komprehensif dan koheren. ”Untuk melahirkan PP yang komprehensif tentu dibutuhkan waktu yang memadai dan tidak buru-buru yang seolah dikejar waktu atau jam tayang,” ujarnya.
 
RPP Kesehatan ini juga dinilai memberikan dampak negatif pada industri lain yang berhubungan dengan industri tembakau, seperti industri kreatif. Terlebih, di RPP Kesehatan tersebut, terdapat rencana larangan iklan, promosi, dan sponsorship di ruang publik, termasuk penyelenggaraan kegiatan pertunjukan seni budaya dan musik.
 
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Dino Hamid, mengaku khawatir dengan ketentuan yang termuat dalam RPP Kesehatan tersebut. ”Kalau sampai rokok benar-benar tidak diperbolehkan, kami akan kehilangan salah satu produk yang mendukung industri kami,” ucap Dino.
 
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi juga  mengusulkan, aturan mengenai produk tembakau tak seharusnya masuk dalam RPP tersebut.

Menurutnya, beleid produk tembakau bisa berdiri sendiri seperti PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Zat adiktif. Dimana PP tersebut merupakan turunan UU Kesehatan tahun 2009.

"Gaprindo pada dasarnya mempersoalkan pengaturan PP Kesehatan yang bersifat omnibus, sangat gemuk, dan tidak fokus karena kluster zat adiktif berbeda dengan kluster rumah sakit, alat kesehatan, sediaan farmasi dan tenaga medis," kata Benny kepada Kontan.co.id, Senin (9/10).

Menurutnya, Industri Hasil Tembakau (IHT) mempunyai ekosistem yang sangat luas dan mempunyai kepentingan sendiri. Di samping itu Benny mengatakan, dalam RPP Kesehatan juga dinilai sarat aspek larangan. Hal tersebut berbeda dengan UU 17/2023.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dina Hutauruk
Terbaru