PROPERTI - JAKARTA. Terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 23/PRT/M/2018 tentang P3SRS, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 132 tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik terus menuai kritikan. Dua aturan tersebut terbit sebelum ada Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi turunan dari UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun.
Erwin Kallo, pengamat hukum properti mengatakan bahwa keluarnya Permen dan Pergub mengenai rumah susun itu terlalu dipaksakan. Pasal-pasal yang ada didalamnya juga bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Salah satunya mengenai sistem pemilihan satu orang satu suara. Sementara di UU No. 20/2011 pasal 75, tidak mengisyaratkan adanya sistem satu orang satu suara dalam pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).
“Peraturan ini tidak applicable atau tidak dapat diterapkan, seharusnya aturan ini untuk rusunami, karena ukuran unitnya sama semua, dan orang tidak bisa membeli lebih dari satu unit, kan itu untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” kata Erwin dalam siaran persnya, Kamis (21/2).
Sementara, lanjut Erwin, rumah susun yang dimaksud dalam Permen dan Pergub adalah rumah susun komersial, yang setiap unitnya memiliki ukuran yang berbeda dan juga diperbolehkan membeli lebih dari satu unit. “Saya punya lima unit, dan bayar kewajiban lima unit, tapi hak suaranya cuma dibatasi satu saja, tidak fair dong. Yang bikin aturan tidak mengerti substansi masalah,” katanya.
Ia menduga aturan ini diperuntukkan menjegal developer atau pun pengelola untuk menjadi anggota P3SRS. Namun kata dia, langkah tersebut tidak tepat. Sebab rumah susun komersial atau apartemen ini harus dikelola pihak yang profesional dan memiliki rekam jejak baik. “Ini bicara mengenai gedung bertingkat dengan ribuan penghuni. Harus dikelola oleh profesional untuk mengurangi potensi penyimpangan,” ujar Erwin.
Dengan dikelola oleh profesional, maka penghuni akan mudah melakukan penelusuran dan meminta pertanggungjawaban terhadap pengelola. Selain itu, pengelola profesional umumnya telah memiliki standard pelayanan yang diakui secara internasional.
Sementara, anggota komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Ellyzabeth CH Mailoa mengingatkan pemerintah, terutama Pemprov agar tidak gegabah menerapkan peraturan tersebut. “Jangan sampai peraturan ini justru memunculkan konflik antara sebagian kelompok dan pengelola yang merugikan mayoritas penghuni yang selama ini sudah harmonis,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News