PERKEBUNAN SAWIT - JAKARTA. Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha terhadap empat perkebunan sawit besar.
Keempat usaha tersebut, yakni PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA), PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT Cipta Papua Plantation.
Perizinan keempat perusahaan itu dicabut karena dianggap tidak melaksanakan kewajibannya dalam izin usaha perkebunan (IUP) yang mereka dapatkan.
Pencabutan perizinan sesuai hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dipimpin langsung oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat yang didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Johny Kamuru, Bupati Sorong mengatakan, pencabutan izin dilakukan berdasarkan laporan evaluasi menyeluruh pemerintah provinsi Papua Barat bersama beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Sorong dan KPK.
Baca Juga: Hampir 8.000 produk dapat pembebasan tarif, IE-CEPA mulai implementasi November
"Kami melihat bahwa lahan yang belum dimanfaatkan perlu dikembalikan ke Masyarakat Adat atau pemilik hak ulayat. Dengan demikian, lahan bisa bermanfaat untuk penghidupan mereka,” kata Johny dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Jumat (17/9).
Ia menambahkan, kebijakan moratorium sawit merupakan salah satu landasan penting bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Sorong untuk melakukan evaluasi beberapa perusahaan
sawit tersebut.
Selain itu, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam serta Deklarasi Manokwari juga menjadi dorongan terhadap pentingnya evaluasi.
“Kami menyayangkan apabila moratorium sawit tidak diperpanjang, apalagi di tengah upaya kami memperjuangkan keadilan dengan menghadapi gugatan dari tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya,” ungkapnya.
Melihat langkah Bupati Sorong ini seharusnya mampu memperkuat dorongan perpanjangan Instruksi Presiden No.8 tahun 2018 tentang Moratorium Sawit yang akan berakhir dalam beberapa hari ke depan.
Berkaca pada langkah Pemkab Sorong, Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan EcoNusa meminta pemerintah untuk memperpanjang Inpres tersebut. Setidaknya terdapat empat catatan penting untuk pemerintah agar memperpanjang moratorium sawit.
Pertama, tata kelola perizinan sawit belum selesai. Kedua, tata kelola produktivitas sawit belum maksimal. Ketiga, memastikan landasan peraturan untuk sektor sawit yang berkelanjutan, dan terakhir memperkuat bukti komitmen Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim.
Dimana berdasarkan data yang dikumpulkan Yayasan Madani Berkelanjutan di Indonesia terdapat 11, 9 juta hektare (ha) izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan dan 8,4 juta ha lahan sawit yang tidak memiliki izin per akhir 2020.
Teguh Surya, Pendiri Yayasan Madani mengatakan, dari data tersebut saja masih terdapat banyak lahan yang tidak diketahui statusnya. "Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” kata Teguh.
Baca Juga: Ekspor CPO kembali bergairah
Sementara itu, Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa menambahkan evaluasi izin ini perlu didorong oleh pemerintah daerah agar tidak merugikan negara. Sampai saat ini, belum banyak pemerintah daerah yang melakukan tinjauan termasuk izin sawit yang ada di kawasan hutan di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya.
Adapun tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara.
"Dari kasus yang terjadi di Papua Barat yang kami amati, dari sekitar 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, ternyata hanya sekitar 52.000 ha yang benar-benar telah ditanami pohon sawit. Dilaporkan juga bahwa potensi kerugian negara dari pajak sangat besar," jelas Bustar.
Sebagai informasi, atas langkah Pemkab Sorong tersebut, tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya yakni PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT.Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS) menggugat keputusan Pemkab Sorong dan mengajukan kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus lalu.
Selanjutnya: Penggugat polusi udara Jakarta minta Jokowi tak ajukan banding
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News