KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana pemerintah mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ke dalam regulasi nasional memicu penolakan dari sejumlah kepala daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Mereka menilai kebijakan pengendalian tembakau yang dirancang mengikuti standar internasional itu tidak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama jutaan pekerja yang hidup dari industri hasil tembakau.
Bupati Temanggung Agus Setyawan menegaskan bahwa daerahnya merupakan salah satu sentra tembakau terbesar di Indonesia dan sangat bergantung pada komoditas tersebut.
Ia menilai regulasi yang terlalu ketat, seperti PP Nomor 28 Tahun 2024, berpotensi mematikan ekonomi petani dan merusak ekosistem sosial di pedesaan.
Baca Juga: Ilmuwan Dorong Dialog Global Soal Inovasi dan Kebijakan Tembakau yang Berbasis Sains
Menurut Agus, tembakau selama ini menjadi sumber penghidupan utama bagi banyak desa di Jawa Tengah, namun posisinya semakin tertekan akibat kebijakan yang tumpang tindih.
“Tembakau bukan masalah, tapi solusi bagi ekonomi desa. Kalau regulasi tidak berpihak, yang mati bukan hanya petaninya, tapi seluruh ekosistem sosial di bawahnya,” ujarnya dalam diskusi “Harapan Deregulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau” di Menara Kadin Indonesia, Kamis (13/11/2025).
Ia menambahkan, petani hanya ingin tetap hidup, menanam, dan terus memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Karena itu, ia mengkritisi PP 28/2024 serta rancangan Permenkes baru yang dinilai mengabaikan keberlangsungan hidup petani.
Nada serupa disampaikan Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo. Situbondo merupakan penghasil tembakau terbesar ketiga di Jawa Timur dengan produksi mencapai 12.000 ton per tahun.
Baca Juga: Mendagri Tito Usul ke Kemenkeu Dana Transfer ke Daerah Tidak Dipukul Sama Rata
Yusuf mempertanyakan arah kebijakan pemerintah pusat yang dinilainya tidak konsisten. Ia menilai sikap pemerintah terlihat seperti “dua arah yang berlawanan” karena di satu sisi pembatasan diperketat, namun di sisi lain industri ini tetap menjadi sumber besar penerimaan negara.
Menurut Yusuf, tembakau bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi penopang lapangan kerja dan pendapatan daerah.
Ia menekankan bahwa pembatasan ketat tidak serta-merta menurunkan konsumsi rokok secara signifikan, sehingga ia mempertanyakan urgensi kebijakan yang berpotensi memukul petani dan pekerja industri.
FCTC sendiri merupakan perjanjian internasional yang disusun WHO untuk mengendalikan konsumsi tembakau secara global.
Meski sudah diratifikasi lebih dari 180 negara, Indonesia hingga kini belum bergabung, dan wacana untuk mengadopsi substansi FCTC ke dalam hukum nasional terus memicu perdebatan.
Baca Juga: Harapan Asosiasi Petani pada Pemerintah dalam Penyusunan Regulasi Tembakau
Perjanjian ini mencakup larangan iklan rokok, peringatan kesehatan bergambar, kenaikan cukai, kawasan tanpa rokok, hingga pengendalian produksi dan distribusi tembakau.
Penolakan di dalam negeri muncul karena sejumlah kalangan menilai FCTC dapat menjadi bentuk intervensi asing terhadap kebijakan nasional. Para kepala daerah serta pelaku industri khawatir implementasinya akan mematikan mata pencaharian jutaan petani dan pekerja.
Di sisi lain, pemerintah dianggap tidak memiliki arah yang tegas karena masih mengandalkan penerimaan cukai rokok sembari memperketat aturan pengendalian konsumsi.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kepala Daerah Tolak Adopsi Regulasi FCTC, Khawatir Petani Tembakau Terpuruk, https://www.tribunnews.com/bisnis/7754355/kepala-daerah-tolak-adopsi-regulasi-fctc-khawatir-petani-tembakau-terpuruk?page=all&s=paging_new.
Selanjutnya: Menkes: Keuangan BPJS Kesehatan Tak Pernah Sustain, Kenaikan Iuran Perlu Dikaji
Menarik Dibaca: Mapple Finance Menempati Puncak Kripto Top Gainers saat Pasar Ambles
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News