Direktur RSUD Kota Depok Devi Maryori menyebutkan, upaya penambahan kapasitas rumah sakit bukannya tak dilakukan. Namun, kecepatan menambah kapasitas rumah sakit -yang harus berjalan paralel dengan mempersiapkan alat-alat, obat, hingga tenaga kesehatan-memang kalah jauh ketimbang penularan virus SARS-CoV-2 yang bertambah secara eksponensial.
"Pokoknya begitu (ruangan isolasi) ditambah, langsung habis tuh," ujar Devi kepada Kompas.com, Rabu lalu.
Devi juga angkat bicara soal penumpukan pasien di IGD RSUD Kota Depok. Menurut dia, selain karena kapasitas ruang perawatan dan ICU Covid-19 yang makin tipis, para pasien yang datang juga banyak berstatus suspect.
Artinya, mereka dicurigai telah terinfeksi virus SARS-CoV-2 (yang menyebabkan penyakit infeksi pernapasan Covid-19) menilik gejala-gejala yang mereka derita, tetapi tanpa bukti tes PCR positif Covid-19.
"Dia datang ya kami swab (PCR) dulu. Gejalanya Covid-19 saat dia datang, seperti demam, batuk, hilang indra penciuman. Tapi karena dia datang tidak membawa hasil swab, jadi ya kami tumpuk lah di IGD, karena kami mau masukkan ke ruang mana, kami juga bingung," ujar Devi.
Baca Juga: Inilah daftar zona merah corona di Indonesia per pekan III 2021, ada 108 daerah
Dalam beberapa kasus, pasien-pasien yang datang hanya berbekal surat keterangan hasil tes antigen yang bukan metode penegakan diagnosis. Rumah sakit pun tetap harus melakukan tes PCR kepada pasien bersangkutan sebagai validasi, sebelum dapat memutuskan ruangan mana yang akan ditempati pasien itu.
"Kalau enggak kan campur-campur, lalu ternyata dia Covid-19," kata Devi.
Ia menjelaskan, asal mencampur pasien adalah tindakan berbahaya sebab dapat membuat tenaga kesehatan tumbang karena tertular Covid-19. Jika ada perawat yang tumbang, maka kapasitas ruang isolasi pasien Covid-19 terpaksa dikurangi sebab 1 perawat menangani 7 pasien sekaligus.
Baca Juga: Pasien Covid-19 melonjak, tinggal 17% tempat tidur yang tersisa di RSD Wisma Atlet