UPAH MINIMUM - JAKARTA. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pengusaha untuk menjalankan Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 tentang Upah Minimum tahun 2022.
Seperti diketahui, dalam Kepgub tersebut Gubernur DKI Jakarta menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2022 naik 5,1% menjadi Rp 4.641.854 per bulan.
Presiden KSPI Said Iqbal mendukung dan mengapresiasi keputusan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Menurutnya, Gubernur DKI Jakarta menggunakan pendekatan hukum dan bukan kekuasaan.
Sebelum ada keputusan Mahkamah Konstutusi (MK), Anies menggunakan PP 36/2021. Namun, setelah ada putusan MK, Gubernur DKI Jakarta menganalisa dan KSPI memberikan legal opinion terhadap putusan MK.
Baca Juga: Kemnaker Sebut Kebijakan Anies Baswedan Naikkan UMP DKI 2022 Picu Polemik
Putusan MK atas UU Cipta Kerja menyatakan penyelenggara negara harus menangguhkan kebijakan strategis dan berdampak luas.
“Pengupahan adalah kebijakan yang strategis. Jadi keputusan revisi UMP DKI Jakarta tidak salah. Sehingga PP Pengupahan tidak masuk dalam pertimbangan penetapan upah DKI Jakarta. Jadi, tidak perlu mengikuti pemerintah pusat,” ucap Iqbal saat dikonfirmasi, Rabu (29/12).
Selain itu, lanjut Iqbal, sebelum revisi UMP DKI Jakarta 2022 diumumkan ke publik, Bappenas sempat melakukan simulasi perhitungan kenaikan UMP sekitar 5% yang dapat menaikkan daya beli masyarakat hingga Rp 180 triliun.
“Bila dikampanyekan terus oleh Apindo tentang penolakan upah atau menyuruh pengusaha tak menjalankan upah DKI Jakarta ini, buruh akan demo besar-besaran di kantor Apindo pusat dan daerah,” ucap Iqbal.
Baca Juga: Anies Tetapkan UMP Jakarta Tahun 2022 Rp 4,64 juta, Begini Respons Pengusaha
KSPI menilai, kenaikan UMP di DKI Jakarta yang naik 0,8% tidak adil. Hal ini juga dinilai mampu mencoreng wajah Indonesia karena kenaikan UMP yang terbilang kecil, padahal Indonesia pada tahun 2022 menjadi Presidensi G20.
“Kami meminta kepala daerah lain juga mempertimbangkan hal yang sama terkait kenaikan upah ini,” ucap Iqbal.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) Provinsi DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menyoroti peran Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang tidak segera merespon polemik penetapan UMP di DKI Jakarta.
“Menteri Ketenagakerjaan sebagai wakil dari pemerintah pusat yang membuat regulasi UMP ini hemat kami lelet dan lambat merespon dinamika ini,” ucap Sarman saat dihubungi, Rabu (29/12).
Sarman menyatakan, dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, terutama regulasi yang berkaitan dengan UMP. Sebab revisi penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2022 tidak sesuai regulasi yakni PP 36/2021 tentang pengupahan.
Baca Juga: Sah! Keputusan Gubernur Anies Terbit, UMP DKI Jakarta 2022 Sebesar Rp 4,64 Juta
“Jadi kami masih tetap berharap agar dalam waktu dua sampai tiga hari ini misalnya, harus menteri tenaga kerja turun tangan luruskan masalah ini supaya memberikan suatu kepastian bagi dunia usaha dan iklim investasi,” ujar Sarman.
Sarman menyatakan, jika penetapan UMP berdasarkan Kepgub terbaru tetap dipaksakan untuk diterapkan, maka akan memberatkan bagi dunia usaha karena cashflow pengusaha yang terbilang masih belum baik mengingat pembatasan kegiatan karena pandemi Covid-19.
Selain itu, dikhawatirkan akan adanya rasionalisasi yang dilakukan pengusaha. Misalnya menunda untuk membuka lowongan pekerjaan dan merumahkan sebagian karyawan secara bergiliran.
“Jadi memang uang cashflow pengusaha masih sekarat. Mereka saat ini belum berpikir UMP, mereka baru berpikir bagaimana mampu bertahan sampai tahun depan dan syukur-syukur ekonomi kita mulai tumbuh,” ujar Sarman.
Baca Juga: Gubernur Anies Resmi Tetapkan UMP DKI Jakarta 2022 Sebesar Rp 4,64 Juta
Lebih lanjut Sarman mengatakan, terkait rencana mengajukan gugatan Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang UMP ke PTUN. Jika Kementerian Ketenagakerjaan tidak mampu menyelesaikan polemik UMP DKI Jakarta tahun 2022, maka pengusaha kemungkinan akan mengajukan gugatan ke PTUN.
“Kalau menyangkut apakah kita akan ke PTUN atau bagaimana, itu kan nantinya kalau dari Kementerian Ketenagakerjaan tidak sanggup menangani ini maka pengusaha juga akan bertindak ke PTUN. Artinya pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan tidak mampu menyelesaikan ini, mereka yang membuat regulasi tapi mereka nggak bisa menyelesaikan,” jelas Sarman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News