Jakarta jadi episentrum Covid-19, tata ruang kota faktor penting penyebaran

Selasa, 23 Juni 2020 | 16:54 WIB   Reporter: Ridwan Nanda Mulyana
Jakarta jadi episentrum Covid-19, tata ruang kota faktor penting penyebaran

ILUSTRASI. JALUR SEPEDA - Penguna sepeda melintas di jalur sepada di Jalan Sudirman, Setiabudi, Jakarta Selatan Jumat,(19/6/2020). Jalur sepeda yang mengunakan jalur lambat jalan protokol yang bukan trotoar ini di jaga petugas Dishub pagi pukul 05.30-08.00 dan sore


DKI JAKARTA - JAKARTA. Tata ruang kota menjadi faktor penting dalam pembangunan suatu wilayah. Apalagi bagi kota yang padat seperti Jakarta, yang baru saja merayakan ulang tahun ke-493, Senin (22/6) kemarin.

Sayangnya, ulang tahun Jakarta kali ini dirayakan dengan muram. Sebab tak hanya menjadi ibu kota negara, Jakarta kini juga menjadi episentrum penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Menurut Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga, penyebaran wabah termasuk Covid-19 tak hanya menjadi persoalan kesehatan, tapi juga lingkungan. Pasalnya, tata ruang dan lingkungan sangat berperan terhadap tingkat penyebaran maupun penanganan Covid-19.

Banyaknya pemukiman padat menjadikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sulit dilakukan secara optimal. Dengan keterbatasan ruang atau lahan yang sempit, hampir mustahil menerapkan jaga jarak fisik secara ideal, begitu juga jika harus menerapkan isolasi mandiri.

Baca Juga: Ridwan Saidi: Perhatikan pembangunan Jakarta saat ini, masih banyak yang terbengkalai

Apalagi diperparah dengan kondisi rumah dan lingkungan yang tidak sehat. "Permukiman padat merupakan salah satu klaster yang rentan penyebaran covid-19," kata Nirwono saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (23/6).

Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Advokasi Urban Poor Consortium (UPC) Gugun Muhammad. Menurutnya, dengan kondisi tata ruang kota Jakarta yang ada saat ini, kebijakan PSBB malah bisa diskriminatif dan bias kelas. Apalagi jika ditambah dengan faktor ekonomi.

Gugun berpandangan, seharusnya pemerintah berani melakukan karantina kampung, dan warga yang dikarantina mendapatkan bantuan tunai. "Sedangkan masa new normal mesti dipahami tidak saja mencegah penularan, tapi juga sebagai tata kehidupan yang lebih adil," sebutnya.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Rujak Center of Urban Studies Elisa Sutanudjaja menilai bahwa tata ruang dan kepadatan memang menjadi isu yang penting. Menurutnya, penyebaran Covid-19 menunjukkan pembagian ruang di Jakarta yang tidak adil.

Ada daerah-daerah yang memiliki rasio ruang terbuka besar, namun penduduknya sedikit. Namun banyak daerah yang sebaliknya. Bagi yang memiliki rasio ruang terbuka besar tapi populasi rendah, isolasi mandiri dimungkinkan sehingga rantai penyebaran bisa lebih cepat terputus.

"Namun tidak demikian untuk yang kepadatan penduduk tinggi. Rumah mereka selain kecil, ruang terbuka untuk bisa olahraga dan berjemur pun minim," sebutnya.

Oleh sebab itu, pemerintah provinsi tetap diminta menjadikan penataan tata ruang kota sebagai program prioritas. Gugun Muhammad menyatakan, pemprov mesti meningkatkan partisipasi warga dalam penyusunan rencana tata ruang.

Dia pun meminta ada suatu badan otoritas yang khusus mengelola dan menangani perbaikan kampung, juga anggaran yang dapat diakses untuk perbaikan rumah. "Juga alihkan orientasi beautifikasi dari Thamrin-Sudirman ke wilayah-wilayah baru yang membutuhkan," pinta Gugun.

Sementara menurut Nirwono Joga, ada tiga kata kunci yang mesti menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat untuk segera membangun tata ruang Jakarta pasca Covid-19. Ketiga kata kunci itu adalah: sehat, aman dan produktif.

Baca Juga: Pengamat: Pemerintah perlu fokus jalankan pemulihan ekonomi untuk hindari resesi

Nirwono pun tetap menyoroti program-program yang harus terus berjalan, seperti penanganan banjir, normalisasi atau naturalisasi sungai, relakasi pemukiman bantaran kali, revitalisasi situ-danau-embung dan saluran air, penambahan daerah resapan, ruang terbuka hijau baru, juga penguraian kemacetan lalu lintas serta penataan transportasi massal.

Untuk yang poin terakhir, Nirwono menekankan soal polusi udara yang sempat turun selama masa PSBB. "Saat itu langit Jakarta sempat biru cerah. Sekarang sudah kelabu kembali," katanya.

Masih terkait dengan kemacetan, polusi udara dan produktivitas, Nirwono menyarankan agar perkantoran maupun perusahaan bisa membagi tugas karyawan mana yang dikerjakan dari rumah dan yang di kantor.

"Dengan demikian tidak perlu semua pekerja harus berangkat kerja ke kantor. Setidaknya bisa 50% diterapkan," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: Yudho Winarto

Terbaru